Sunday, September 19, 2010

Rumah Tangga Yang Bernafaskan Buddha Dharma




Rumah Tangga Yang Bernafaskan Buddha Dharma

Oleh Dra. Lilies Yuliati, M.Ed




Ada yang percaya bahwa perkawinan dibuat di surga. Namun jika perkawinan ditangani dengan ceroboh perkawinan seperti dibuat di neraka.

Dalam suatu perkawinan, baik suami maupun isteri harus lebih mengutamakan hubungan itu daripada kepentingan masing-masing. Hubungan ini merupakan pertalian dua kepentingan dan pengporbanan harus dilakukan untuk kepentingan kedua belah pihak.

Buddha berpendapat bahwa monogamy adalah bentuk perkawinan yang ideal, dan kesucian serta kesetiaan merupakan syarat bagi perikaku ideal sebelum dan sesudah perkawinan. Kesuksesan dalam berumah tangga juga harus ditunjang oleh keyakinan yang sama moralitas, sikap tidak memetingkan diri sendiri dan kebijaksanaan. Keyakinan yang sama tidak berarti harus beragama sama, karena prinsip dasar kebenarna sejati itu universa. Mengatasi batasan-batasan yang dibuat oleh kaidah-kaidah agama.

Dari saling pengertianlah rasa aman dan puas dalam perkawinan bisa tercapai.

Tidak ada jalan pintas bagi kebahagiaan dalam perkawinan. Pengertian dan toleransi dibutuhkan untuk mengatasi perasaan cemburu, kemarahan dan curiga, karena tidak ada pasangan yang tidak pernah berselisih atau salah paham.

Keberhasilan dalam berumah tangga lebih didasarkan pada keserasian ketimbang sekedar mencari pasangan yagn tepat. Kedua belah pihak harus berusaha menjadi orang yang tepat dengan bersikap saling mencinta, saling setia, saling menghargai, saling percaya dan saling membantu. Sehingga jalan apapun yang harus dilalui akan dilalui bersama.

Perkawinan yang bahagia adalah perkawinan yang tidak menutup mata terhadap kekurangan maupun kelebihan masing-masing dengna menyadari bahwa semua tidak ada yang sempurna. Jalan emas untuk memupuk pengertian ialah dengan memperaktekkan kesabaran dan toleransi. Janganlah marah pada saat yang sama sehingga masalah bisa diselesaikan dengan mudah.

Di dalam Sigalovada Sutta ditegaskan bahwa seorang suami harus memperlaukan isterinya dengan hormat, penuh pengertian dan timbang rasa, sedangkan seorang istri harus setia, ramah dan penuh tanggung jawab.

Dalam sebuah perkawinan seks harus dieltakkan pda tempatnya yang tepat. Seperti api, seks adalah pembantu yang baik, namun bisa juga menjadi tuan yang jahat. Seks janganlah dikekang secara berlebihan. Seperti emosi yang lain, nafsu seks harus dikendalikan.

Cinta sejati bukan hanya fisik, ia adalah persekutuan spiritual, pertemuan antara pikiran. Pasangan suami istri harus berusaha untuk menanamkan nilai-nilau yang tidak lapuk oleh waktu, yaituL kesederhanaan, kesetiaan, dan kesusilaan. Pertumbuhan sejati hanya bisa muncul melalui pengembangan nilai-nilai ini. Tak ada yang bisa menghindari diri dari hokum alam sebab akibat, dan kesatuan akhir semua makhluk. Keharomonisan dalam rumah tangga maupun masuaraat akan bergantung kepada pengakuan terhadap hokum ini serta pemeliharaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan termasuk rasa hormat kepada diri sendiri dan keunggulan manusiawi.

Sang Buddha berkata bahwa perkawinan antara suami jahat dan istri jahat adalah seperti mayat yang bersanding dengan mayat yang bersanding dengan mayat lain. Perkawinan antara suami yang jahat dan istri yang baik adalah seperti mayat bersanding dengan dewi. Perkawinan antara suami yang baik dengan istri yang jahat adalah seperti dewa bersanding dengan mayat. Perkawinan antara suami yang baik dengan istri yang baik adalah seperti dewa bersanding dengan dewi. Jadi berhati-hatilah dalam menentukan pilihan untuk pasangan hidup.

Hubungan perkawinan dalam masuarakat modern begitu mudah retak dan rapuh karena kekuatan spiritualnya lenyap dalam sensualitas (kenikmatan indria). Godaan duniawi yang muncul akibat kemajuan teknologi dan akibat kemajuan teknologi dan globalisasi semakin besar sehingga kemelekatan terhadap kesenangan duniawi semakin tinggi.

Dalam era kenikmatan materi ini, manusia tidak begitu peduli dengan kehidupan yang akan datang. Doktrin Buddhis menyatakan bahwa manusia akan menuai apa yang ditaburnya. Jika seseorang telah menjalani kehidupan moral yang baik dan mencapai usia lanjut dengan rasa keberhasilan, kepuasan hati dan ketenangan, ia tidak akan memiliki penyesalan, Hidup yang dijalani tanpa melakukan kesalahan akan membuahkan kebahagiana di balik kematian. Orang seperti itu dikatakan sebagai orang yang melakngkah dari cahaya ke cahaya yang lebih terang.

Dalam membina keluarga yang harminis dan bahagia perlu sekali latgi diingat bahwa kita harus selalu meningkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan bersama. Jauhkanlah diri dari godaan materi karena apa yang bisa dibeli dengan uang? Ranjang, bukan tidur, Buku, bukan pengetahuaan. Makanan, bukan selera Perias wajah, bukan kecantikan. Obat, bukan kesehatan, Kemewahan, bukan kenyamanan. Kesenangan, bukan kebahagiaan. Agama bukan keselamatan. Jangan katakana ini punyamu dan ini punyaku.

Katakanlah ini datang padamu dan padaku, sehingga tak perlu menyesali cahaya yang pudar dari semua yang berkilau yang akan lenyap.

[ Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edsisi ke 44 ]

No comments:

Post a Comment