Wednesday, March 31, 2010

Buddhisme dan Politik

  
Buddhisme dan Politik
Oleh: Sujayo

Sang Buddha berasal dari sebuah kasta ksatria yang mengondisikan Beliau banyak bergaul dengan para raja, pangeran, dan menteri.Walaupun demikian, Beliau tidak pernah memaksakan pengaruh kekuatan politik untuk memperkenalkan ajarannya. Ataupun memperbolehkan ajarannya disalahgunakan untuk memperoleh kekuatan politik. Tetapi, saat ini banyak politisi mencoba menyeret nama Agama Buddha ke dalam politik dengan memperkenalkan Beliau sebagai komunis, kapitalis, atau bahkan seorang imperialis. Mereka telah lupa bahwa filosofi politik baru yang telah kita kenal berkembang di dunia Barat jauh setelah masa Sang Buddha. Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya~karya seni dan kebudayaan. Ketika agama.digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi. 
 

Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya. Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya, Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan. 

Sebagai tambahan, tidak peduli sistem politik apa yang diambil, ada faktor-faktor universal tertentu yang harus dialami anggota-anggota masyarakat, yaitu pengaruh-pengaruh kamma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi dalam dunia yang bersifat dukkha (ketidakpuasan), anicca (ketidakkekalan), anatta (tanpa keakuan). Bagi umat Buddha tiada tempat dalam samsara di mana ada kebebasan sejati bahkan tidak di surga-surga atau dunia para Brahma. Meskipun suatu sistem politik yang baik dan adil menjamin hak asasi manusia dan mengawasi keseimbangan, penggunaan kekuatan adalah suatu kondisi penting bagi suatu kehidupan bahagia dalam masyarakat. 

Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan. Kebebasan dalam arti sebenarnya hanya mungkin ketika manusia menggunakan Dhamma untuk mengembangkan sifatnya melalui perkataan, perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk mengembangkan potensi mentalnya dan mencapai tujuan akhir yaitu penerangan. Sementara mengetahui manfaat memisahkan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan. 

Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan perencanaan politik masa kini. 

Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh sebelum Abraham Lincoln. Dan kelas-kelas juga kasta-kasta adalah pembatas buatan yang didirikan oleh masyarakat. Satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka. 

Kedua, Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat modern. 

Tiga, karena tak seorang pun ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai penerus, anggota-anggota Sangha dituntun oleh Dhamma dan Vinaya, atau singkatnya, Aturan Hukum. Hingga hari ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan Hukum yang menentukan dan menuntun perbuatan mereka. 

Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi. Ini diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. 

Ketika.suatu pernyataan serius timbul dan membutuhkan perhatian, persoalan- persoaian dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini. Prosedur pemerintahan ini mungkin mengejutkan bagi banyak orang yang mengetahui bahwa dalam majelis Agama Buddha di India lebih dari 2500 tahun yang lalu dapat ditemukan dasar praktik Dewan Perwakilan Rakyat masa kini. Seorang petugas khusus yang serupa dengan “Tuan Pembicara” ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua, yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat juga ditunjuk untuk melihat apakah kuorum tercapai. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali. 

Demikian praktik Dewan Perwakilan Rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara. Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang ‘adil’. Beliau mengajarkan, “Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai”. Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rahini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, 

“Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik”. (Anguttara Nikaya) di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan.

Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan melalui kekuatan, takkan berhasil. Dalam Kutadanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia. 

Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai “Dasa Raja Dhamma”. Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut : 
01. Bersikap bebas / tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri. 
02. Memelihara suatu sifat moral tinggi. 
03. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat. 
04. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati. 
05. Bersikap.baik hati dan lembut. 
06. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat. 
07. Bebas dari segala bentuk kebencian. 
08. Melatih tanpa kekerasan. 
09. Mempraktikkan kesabaran, dan 
10. Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni. 

Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasihatkan: 
1. Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya. 
2. Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya. 
3. Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan. 
4. Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. 

Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan.dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta) Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya. 

Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang penguasa yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang telah melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara. Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk menemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara. Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan “Panjang umur Yang Mulia” (Majjhima Nikaya) Penekanan Sang Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian. 

Raja Asoka, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang. Kadang-kadang Sang Buddha dikatakan sebagai pembaharu sosial. Antara lain Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa keserakahan. 

Tetapi dengan penuh pertimbangan dan welas asih bagi rakyat. Meskipun demikian, kontribusinya terhadap umat manusia jauh lebih besar. Karena Beliau mulai pada titik yang tidak pernah dilakukan oleh pembaharuan sosial lain, yaitu, dengan masuk ke akar yang terdalam dari penyakit manusia yang ditemukan dalam batin manusia. Hanya di dalam batin manusia pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah sadar yarig penting seka!i bagi aliran kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selarna manusia menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan, terhadap sesama manusia. 

Doktrin yang dikhotbahkan Sang Buddha tidak berdasarkan pada filosofi politik. Bukan pula sebuah doktrin yang mendorong manusia menuju kesenangan duniawi. Doktrin tersebut menyiapkan jalan ke Nibbana. Dengan kata lain tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri keinginan (tanha) yang membuat manusia tetap terikat pada dunia. Dhammapada 75 menyarikan dengan baik pernyataan ini, “Jalan yang menuntun kepada perolehan duniawi adalah satu, dan jalan yang lain menuntun ke Nibbana (dengan menjalani suatu kehidupan agama) “. Betapapun, ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik. (Sujayo)

http://pendahuluan.blog.friendster.com/?cat=743682

MEDITASI JALAN Oleh Sayadaw U Silananda

MEDITASI JALAN

Oleh : Sayadaw U Silananda

Alih Inggris - Indonesia : Chandasili Nunuk Y.K.






Dikegiatan penyunyian yang kami selenggarakan, para yogi mempraktekkan meditasi kesadaran (vipassana) dengan menggunakan empat sikap tubuh yang berbeda-beda.


Mereka mempraktekkan kesadaran saat berjalan, berdiri, duduk dan berbaring. Mereka harus sepenuhnya membangun kesadaran setiap saat dalam kondisi apapun.


Sikap utama tubuh dalam meditasi kesadaran adalah duduk bersila dengan punggung tegak. Tapi umumnya para yogi sulit duduk berjam-jam tanpa merubah posisi. Sehingga kami mengganti saat-saat duduk meditasi ini dengan meditasi jalan.


Karena meditasi jalan sangat penting maka perlu didiskusikan lebih jauh.


Diskusi tersebut berkenaan dengan manfaat, pentingnya dan kondisi alami yang bisa dipahami saat mempraktekkan meditasi jalan.


Praktek meditasi kesadaran bisa diumpamakan seperti merebus air. Pertama seseorang harus mengisi air ke dalam teko. Lalu teko itu diletakkan di atas kompor kemudian kompor itu dinyalakan.


Sebelum air mendidih ia mematikan kompor. Meski sesaat kompor dimatikan untuk kemudian dinyalakan lagi sebentar, air di dalam teko tidak langsung mendidih.


Jika hal ini terus dilakukan, mematikan dan menyalakan kompor (sebelum air mendidih) maka air di dalam teko tidak akan pernah mendidih.


Dengan cara yang sama, jika ada jeda atau celah diantara kesadaran maka kita tidak akan bisa membangun konsentrasi dengan baik.


Itulah sebabnya para yogi yang berada dalam pengawasan kami diinstruksikan untuk membangun kesadaran sepanjang waktu. Mulai dari saat bangun dari tidur di pagi hari hingga terlelap pada malam harinya. Dalam hal ini praktek meditasi jalan menyatu didalamnya untuk menumbuhkan kesadaran yang berkesinambungan.


Namun demikian kami pernah mendengar orang-orang yang mengkritik praktek meditasi jalan. Para pengritik ini mengatakan mereka tidak memperoleh manfaat atau hasil yang baik dari praktek meditasi jalan tersebut.


Sesungguhnya Sang Buddha merupakan orang pertama yang membabarkan praktek meditasi jalan ini.


Pembahasan meditasi jalan Beliau sampaikan dua kali. Dalam “bagian” yang disebut “sikap tubuh” Beliau mengatakan seorang yogi tahu, “saya sedang berjalan” saat ia sedang berjalan, tahu, “saya sedang berdiri” ketika sedang berdiri, tahu “saya sedang duduk” saat sedang duduk dan tahu saat sedang berbaring sebagai “saya sedang berbaring”.


Pada bagian lain yang disebut “pemahaman jernih” Sang Buddha mengatakan, “Seorang bhikkhu menggunakan pemahaman yang jernih saat berjalan bolak-balik”. Maksud dari “pemahaman yang jernih” disini adalah pemahaman yang benar atas segala sesuatu yang diamati.


Dengan memiliki pemahaman yang benar terhadap pengamatannya seorang yogi dapat membangun konsentrasi.


Untuk membangun konsentrasi ia harus menggunakan kesadarannya. Lebih jauh Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu gunakan pemahaman jernihmu”.


Kita harus menyadari bukan saja pemahaman yang jernih tapi juga kesadaran dan konsentrasi saat sedang berjalan bolak-balik. Jadi, meditasi jalan merupakan suatu bagian penting dari proses ini.


Meski Sang Buddha tidak memberikan petunjuk secara khusus dan rinci tentang meditasi jalan (hanya penjelasan singkat yang tercatat di dalam sutta) kami percaya Beliau telah memberikan petunjuk pada suatu waktu.


Petunjuk-petunjuk itu telah dipelajari oleh para murid Sang Buddha dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Sebagai tambahan para guru terdahulu telah memiliki “resep” berdasarkan pengalaman praktek meditasi mereka sendiri.


Saat ini kami memiliki serangkaian petunjuk yang teliti tentang cara mempraktekkan meditasi jalan.


Izinkan kami secara khusus membahas praktek meditasi jalan. Jika kalian adalah para pemula sang guru akan menasehati untuk sepenuhnya awas pada satu hal selama mempraktekkan meditasi jalan; “Sepenuhnya awas pada langkah kaki sementara kalian membuat pencatatan di dalam batin berjalan…..berjalan…..berjalan….atau kiri-kanan…kiri-kanan…”


Yang perlu diingat kalian harus berjalan lebih lambat dari biasanya saat sedang berlatih meditasi jalan.


Setelah beberapa jam atau setelah satu-dua hari bermeditasi kalian akan diberi petunjuk untuk melakukan dua tahapan dalam melangkah, yaitu melangkah dan meletakkan kaki. Ini harus dicatat dalam batin sebagai, “angkat-letakkan…angkat-letakkan….angkat-letakkan”.


Kalian harus mengamati sungguh-sungguh dua tahapan proses melangkah tersebut. Setelah itu kalian akan diberi petunjuk untuk sepenuhnya menyadari tiga proses berjalan, yakni pertama proses mengangkat, kedua proses maju dan ketiga proses meletakkan kaki.


Sesudahnya kalian akan diberi petunjuk lanjutan untuk sepenuhnya menyadari empat tahapan dalam proses melangkah yakni, pertama mengangkat, kedua maju, ketiga turun, keempat sentuh atau meletakkan kaki ke lantai.


Kalian akan diinstruksikan untuk mencatat dalam batin empat gerakan tersebut, “angkat-maju-turun-tekan”.


Sebagai pemula para yogi akan menemui kesulitan untuk berjalan perlahan. Tapi, ketika ia sepenuhnya memberi perhatian dengan baik, ia bisa menyadari semua gerakan itu.


Dengan demikian semakin lama ia semakin penuh perhatian. Pada saat itulah secara otomatis ia berjalan dengan perlahan. Tidak perlu secara sengaja melambatkan langkah kaki tersebut. Namun, dengan menaruh perhatian penuh secara otomatis langkah kaki akan melambat.


Saya akan memberi perumpamaan untuk menjelaskan pernyataan di atas. Sewaktu berkendara di jalan bebas hambatan seseorang cenderung memacu kendaraannya pada kecepatan 60-70 atau malah 80 mil/jam. Dengan kecepatan seperti itu akan sulit baginya membaca rambu-rambu lalu lintas di pinggir jalan. Bila ia ingin membaca rambu-rambu tersebut ia harus melambatkan laju kendaraannya. Tak perlu siapapun mengingatkan, “pelan-pelanlah”. Tapi si sopir secara otomatis akan memperlambat laju kendaraannya untuk bisa melihat rambu-rambu tersebut.


Dengan pemahaman yang sama, bila seorang yogi ingin memberikan perhatian yang lebih cermat atas gerakan mengangkat, maju, turun dan tekan, secara otomatis ia akan melambatkan langkah kakinya. Hanya dengan berjalan lambat ia bisa sepenuhnya awas dan waspada terhadap gerakan kaki tersebut.


Meskipun para yogi memberikan perhatian yang cermat dan melambatkan langkahnya ada kemungkinan mereka tidak melihat semua pergerakan dan tahapan dari pergerakan tersebut dengan jernih.


Maklum tahapan pergerakan itu belum menempel di pikiran. Saat itu seolah-olah pergerakan tersebut merupakan satu kesatuan gerak yang berkesinambungan. Saat konsentrasi berkembang lebih kuat para yogi akan mampu mengamati tahapan-tahapan gerakan yang berbeda dalam satu langkah dimana akhirnya empat tahap gerakan (dalam satu langkah) lebih mudah diamati.


Para yogi akan mengetahui secara jelas bahwa gerakan mengangkat berbeda dengan gerakan maju maupun gerakan turun. Mereka mengetahui kaki yang terangkat itu terasa ringan. Saat mendorong kaki ke depan mereka akan mencapai pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Dan ketika menurunkan kaki mereka mencatat gerakan kaki yang turun menjadi berat dan semakin berat. Saat meletakkan kaki ke lantai/tanah mereka merasakan sentuhan.


Lebih jauh, sepanjang pengamatan angkat, maju, turun dan tekan ke lantai, para yogi akan melihat rasa ringan saat kaki mengangkat, gerakan kaki, rasa berat saat kaki turun dan sentuhan pada kaki terhadap lantai yang berupa rasa keras dan lunak. Saat mengamati proses-proses ini mereka sedang “melihat” empat unsur utama (Pali: Dhatu ). Empat unsur utama itu adalah unsur tanah, unsur air, unsur api dan unsur udara. Dengan memberi perhatian yang cermat pada empat tahapan melangkah sewaktu berlatih meditasi jalan, empat unsur utama tersebut “nampak”. Jadi unsur-unsur itu tidak hanya sekedar konsep (teori belaka), tapi merupakan proses nyata, realitas mutlak.


Ijinkan kami membahas lebih terperinci sifat dari unsur-unsur tersebut yang bekerja saat mempraktekkan meditasi jalan.


Pada gerakan pertama, yakni gerakan mengangkat kaki, yogi mengalami rasa ringan. Ketika mengalami rasa ringan mereka “melihat” unsur api.


Salah satu aspek dari unsur api adalah membuat benda-benda menjadi lebih ringan. Saat benda-benda menjadi lebih ringan itulah mereka bisa mengangkat kaki.


Dengan kata lain saat itu yogi merasakan intisari dari unsur api. Tidak hanya itu. Saat kaki terangkat ada unsur lain yang juga bekerja di sana. Setelah itu terjadi pergerakan kaki bergerak naik. Pergerakan terjadi karena ada unsur udara yang bekerja. Tapi, dalam hal naiknya kaki, unsur api lebih dominan dibanding unsur udara. Jadi bisa dikatakan saat menangkat kaki unsur utamanya adalah unsur api dan unsur kedua yang mengikuti adalah unsur udara. Kedua unsur tersebut bisa dirasakan oleh para yogi saat mereka menaruh perhatian sungguh-sungguh ketika mengangkat kaki.


Tahap berikutnya adalah mendorong kaki ke depan. Saat kaki terdorong ke depan unsur utama yang mempengaruhi gerakan tersebut adalah unsur udara. Karena pergerakan (dalam hal ini adalah gerakan mendorong) adalah satu sifat utama dari unsur udara. Jadi, saat bersungguh-sungguh melihat gerakan kaki maju ketika melakukan meditasi jalan yogi-yogi itu sebetulnya tengah “melihat” intisari unsur udara.


Tahap meditasi jalan berikutnya adalah gerakan menurunkan kaki. Sewaktu yogi meletakkan kaki ke bawah ada sejenis kekerasan pada kaki. Kekerasan adalah karakteristik dari unsur air. Unsur air bersifat merembes dan mengental. Saat cairan menjadi berat maka ia akan mengental. Jadi, saat yogi mengalami rasa berat pada kaki mereka sebenarnya mengalami peristiwa bekerjanya unsur air.


Saat kaki menekan ke tanah/lantai yogi-yogi akan mengalami kekerasan dan kelembutan dari kaki yang menyentuh tanah atau lantai. Persinggungan antara kaki dan landasan mengalami keadaaan alaminya yang khas. Kondisi ini dipengaruhi oleh unsur tanah. Jadi dengan menaruh perhatian sungguh-sungguh saat kaki menekan landasan yogi-yogi sebenarnya bisa memetik pengalaman berupa keadaan alami yang dipengaruhi oleh unsur tanah.


Bisa dikatakan hanya dengan satu langkah para yogi bisa mengamati banyak proses. Mereka bisa mengamati empat unsur utama dan menyadari keempatnya secara alami. Keadaan ini hanya bisa “dilihat” dan dialami oleh para yogi yang berlatih dengan sungguh-sungguh.


Saat para yogi meneruskan latihan meditasi jalannya mereka akan menyadari pada setiap gerakan ada pikiran yang mencatat atau mengawasi setiap gerakan tersebut. Dengan kata lain ada gerakan mengangkat disertai munculnya pikiran yang mengawasi (mencatat) gerakan mengangkat tersebut. Selanjutnya, ada gerakan mendorong kaki ke depan disertai dengan pikiran yang mengawasi gerakan tersebut. Setelah itu ada gerakan menurunkan kaki ke landasan. Bersamaan dengan itu ada pikiran yang mengawasi gerakan tersebut. Keduanya muncul dan lenyap sampai kaki betul-betul menyentuh landasan.


Proses yang sama muncul saat melakukan gerakan menekan kaki ke landasan. Saat itu ada gerakan menekan dan munculnya pengawasan atas gerakan tersebut. Dengan cara ini para yogi akan memahami bahwa bersamaan dengan melangkah ada gerakan kesadaran atau pengawasan. Saat-saat menyadari tersebut termasuk ke dalam bekerjanya kelompok batin (dalam bahasa Pali disebut nama).


Sementara gerakan-gerakan kaki termasuk ke dalam kelompok materi atau rupa . Pada saat itu para yogi akan memahami batin dan jasmani muncul dan lenyap setiap saat.


Inilah penjelasannya. Pada satu waktu ada kaki yang terangkat dan munculnya kesadaran mengangkat. Saat berikutnya ada gerakan kaki mendorong ke depan dan kesadaran yang melihat pergerakan tersebut. Demikian seterusnya.


Dari sinilah muncul pemahaman tentang bekerjanya pasangan batin dan jasmani yang muncul dan lenyap setiap saat. Hanya saja pemahaman atau pengertian tentang muncul dan lenyapnya batin dan jasmani setiap saat ini hanya akan terjadi bagi mereka yang berlatih dengan sungguh-sungguh.


Ada hal lain yang akan ditemui para yogi. Yakni munculnya serangkaian kehendak atau maksud yang mengakibatkan terjadinya setiap gerakan. Mereka akan menyadari bahwa kaki bisa diangkat karena mereka menginginkannya. Juga, kaki terdorong ke depan karena mereka bermaksud demikian. Kaki bisa turun karena mereka menginginkannya. Begitu pula kaki bisa menekan landasan karena mereka bermaksud demikian. Jadi, hal itu bisa terjadi karena munculnya serangkaian kehendak. Kehendaklah yang mengawali setiap pergerakan. Setelah ada kehendak untuk mengangkat maka muncul proses mengangkat kaki. Setelah ada kehendak untuk mendorong maka muncul proses kaki terdorong ke depan. Demikian seterusnya.


Setelah mengamati proses ini dengan sungguh-sungguh para yogi kemudian memahami semua kemunculan itu berkondisi. Pergerakan-pergerakan itu tak akan muncul dengan sendirinya. Pergerakan-pergerakan itu tak akan terjadi tanpa adanya suatu sebab. Ada sebuah sebab atau kondisi untuk setiap pergerakan. Kondisi yang dimaksud adalah munculnya kehendak atau maksud yang mengawali setiap pergerakan. Inilah temuan berikutnya yang bisa ditemui para yogi saat mereka memberikan perhatian dengan sungguh-sungguh.


Saat seorang yogi memahami kondisi munculnya setiap pergerakan maka akan muncul pemahaman baru. Mereka memahami bahwa pergerakan itu tercipta oleh maksud atau kehendak. Mereka akan memahami bahwa maksud atau kehendak adalah kondisi yang membuat munculnya pergerakan. Pada saat inilah seorang yogi bisa memahami hubungan sebab akibat. Mereka bisa memahami hubungan antara yang dikondisikan dan yang mengkondisikan.


Saat pemahaman itu muncul yogi ini bisa saja menyingkirkan keragu-raguannya tentang batin dan jasmani. Hal ini terjadi melalui munculnya pengertian bahwa batin dan jasmani tidak akan muncul tanpa adanya suatu kondisi.


Dengan pemahaman yang jernih atas kondisi setiap benda dan dengan tersingkirnya keragu-raguan atas batin dan jasmani bisa dikatakan ia meraih tingkat mendekati seorang sotapanna ..


Sotapanna artinya pemenang arus. Seorang sotapanna adalah seseorang yang telah meraih pencerahan tingkat pertama. Seseorang yang meraih tingkat pemahaman mendekati seorang sotapanna belum benar-benar menjadi sotapanna. Tapi pihak terakhir ini sudah dipastikan hanya akan terlahir kembali ke alam manusia atau alam dewa-dewa.


Dengan demikian seseorang yang mendekati pemahaman sotapanna tak mungkin terlahir di alam-alam bawah (alam peta, binatang, atau alam-alam neraka). Pemahaman ini bisa diraih melalui meditasi jalan. Tentu saja hal ini bisa terjadi sekali lagi dengan memberikan perhatian secara teliti dan sungguh-sungguh dalam mengamati setiap pergerakan kaki.


Inilah keuntungan besar dari berlatih meditasi jalan. Tentu saja tingkat di atas tidak mudah dicapai. Tapi, bila seorang yogi mampu meraihnya bisa dipastikan ia hanya akan terlahir di alam-alam bahagia.


Saat yogi memiliki pengertian tentang muncul-lenyapnya batin dan jasmani mereka akan memahami ketidakkekalan proses melangkah. Mereka juga akan memahami ketidakkekalan kesadaran melangkah. Hal ini terjadi seiring dengan timbulnya pengertian bahwa segala sesuatu itu akan muncul dan lenyap. Akhirnya pengertian selanjutnya yang muncul adalah segala sesuatu itu bersifat tidak kekal.


Kita harus berusaha memahami apakah sesuatu itu bersifat kekal atau tidak kekal. Kita harus berusaha untuk melihat melalui kekuatan yang muncul dalam meditasi apakah benda-benda itu subyek dari proses menjadi yang kemudian lenyap. Jika meditasi kita cukup baik keadaan ini memungkinkan untuk mengamati ketidakkekalan. Setelah itu barulah seorang yogi bisa memutuskan fenomena yang tengah diselidikinya itu bersifat tidak kekal.


Melalui penyelidikannya para yogi melihat (menyadari) saat bermeditasi jalan ada gerakan mengangkat dan kesadaran yang muncul atas gerakan itu yang sesaat kemudian lenyap.


Hal ini memberi ruang atas munculnya gerakan mendorong kaki ke depan. Gerakan ini pun secara sederhana muncul dan lenyap, muncul dan lenyap (timbul tenggelam). Melalui proses ini lewat pengalamannya sendiri, pengertian muncul dalam diri para yogi.


Pemahaman ini tidak timbul dari membaca buku, diberitahu pihak lain atau adanya suatu otoritas tertentu yang mendorong munculnya pengertian ini.


Saat mengalami bahwa batin dan jasmani itu timbul dan tenggelam para yogi akan memahami batin dan jasmani itu bersifat tidak kekal. Saat mereka memahami batin dan jasmani itu bersifat tidak kekal mereka akan mengerti bahwa batin dan jasmani itu bersifat tidak memuaskan. Hal ini muncul karena ternyata batin dan jasmani berada dalam keadaan terus-menerus timbul dan tenggelam.


Setelah memahami ketidakkekalan dan tidak memuaskannya benda-benda akan muncul suatu penyelidikan yang memunculkan pengertian bahwa di sana tak ada “tuan” dari benda-benda tersebut. Atau dengan kata lain, mereka menyadari tak ada jiwa atau diri di dalam benda-benda yang memerintah mereka untuk menjadi kekal.


Benda-benda hanya timbul dan tenggelam mengikuti hukum alam. Dengan memiliki pemahaman semacam ini yogi-yogi memahami sifat ketiga dari fenomena yang berkondisi, yakni sifat dari anatta. Bahwa benda-benda tak memiliki “diri” di dalamnya. Salah satu arti dari anatta adalah tak ada tuan (majikan) tiada apapun, tak ada kekuatan apapun, tak ada jiwa dibalik fenomena-fenomena tersebut.


Pada kondisi ini yogi-yogi bisa memahami sifat ketiga dari semua fenomena yang berkondisi yakni bersifat tidak kekal, penuh penderitaan dan tak ada inti yang kekal di dalamnya (dalam Pali disebut bersifat, anicca, dukkha dan anatta).


Para yogi bisa memahami ketiga sifat tersebut dengan penyelidikan secara tekun saat kaki naik dan kesadaran yang muncul saat menaikkan kaki dan seterusnya.


Dengan memberikan perhatian penuh atas gerakan tersebut mereka melihat benda-benda timbul-tenggelam terus-menerus. Akibatnya mereka bisa melihat anicca, dukkha dan anatta dari semua fenomena secara alami.


Sekarang izinkan kami untuk menjelaskan lebih terperinci tentang pergerakan dalam meditasi jalan. Umpamanya seseorang mengambil gambar bergerak dari proses mengangkat kaki. Lebih jauh, umpamanya, naiknya kaki berkisar satu detik. Katakanlah ada kamera yang bisa merekam gerakan tersebut. Sehingga kamera ini bisa mengambil gambar dari gerakan itu sebanyak 36 bingkai dalam satu detik.


Setelah gambar itu terekam kita bisa mengamati rangkaian pergerakan dalam bingkai-bingkai yang terpisah itu.


Terlihat rangkaian pergerakan itu berbeda satu sama lainnya. Meski perbedaan itu kecil sekali tapi seseorang bisa dengan mudah melihat perbedaan tersebut.


Bagaimana jika ada kamera yang bisa mengambil gambar dari pergerakan mengangkat kaki sebanyak 1000 bingkai dalam satu detik? Bila ada kamera demikian maka akan dihasilkan rekaman seribu pergerakan dalam satu detik. Meskipun, tentunya, rangkaian gambar pergerakan itu hampir-hampir sulit dibedakan. Sekarang akan semakin sulit melihat perbedaan pergerakan dalam bingkai gambar dari hasil rekaman kamera yang bisa mengambil gambar satu juta bingkai dalam satu detik. Inilah kenyataannya, ternyata ada satu juta proses pergerakan mengangkat kaki dimana kita menganggapnya sebagai satu gerakan belaka.


Usaha yang dikerahkan saat bermeditasi jalan adalah melihat gerakan kita secara cermat secermat kamera berkekuatan tinggi melihatnya bingkai demi bingkai. Kita pun perlu menyelidiki kekuatan kesadaran dan kekuatan kehendak yang muncul di awal setiap pergerakan.


Dengan cara semacam inilah akan muncul penghargaan dan penghormatan atas perjuangan, kebijaksanaan dan pandangan terang Sang Buddha atas apa yang beliau lihat dari pergerakan-pergerakan tersebut.


Saat menggunakan kata “melihat” atau “mengamati” yang merujuk pada situasi diri sendiri, hal ini dimaksudkan secara langsung melihat dan juga menarik kesimpulan; bahwa kita tak akan mungkin melihat secara langsung seluruh satu juta gerakan seperti yang bisa dilihat oleh Sang Buddha.


Sebelum mulai berlatih meditasi jalan mungkin para yogi pernah berpikir satu langkah hanya terdiri dari satu gerakan.


Setelah berlatih meditasi dan mengamati dengan penuh perhatian para yogi akan tahu meski hanya satu pergerakan (dari jumlah keseluruhan 4 tahapan gerak) sebenarnya pergerakan itu gabungan dari jutaan gerak.


Dari proses ini mereka melihat batin dan jasmani, timbul tenggelam, sebagai ketidakkekalan.


Dengan pandangan biasa seseorang tak akan mampu melihat ketidakkekalan dari benda-benda karena ketidakkekalan tersembunyi oleh khayalan.


Kita berpikir, sebagai umat awam, yang melihat saat melangkah hanya berupa satu gerakan tak terputus. Namun dengan mengamati lebih jernih kita bisa mengetahui bahwa gerakan itu terdiri dari banyak gerak yang berkesinambungan dalam membentuk satu-kesatuan gerak.


Demikian pula dengan yang terjadi pada khayalan atas ketidakterputusan bisa dipatahkan.


Khayalan ini bisa dipatahkan oleh pengamatan langsung atas fenomena jasmani sedikit demi sedikit, setahap demi setahap sebagaimana adanya sehingga khayalan tersebut bisa dihancurkan.


Nilai dari meditasi ini bersandar pada kemampuan kita untuk menyingkirkan selubung ketidakterputusan dengan menemui keadaan alami atas ketidakkekalan. Para yogi bisa menemukan ketidakkekalan sebagaimana adanya secara langsung melalui daya upaya mereka sendiri.


Setelah menyadari bahwa benda-benda merupakan gabungan dari bagian-bagian yang muncul sedikit demi sedikit dan setelah mengamati bagian-bagian ini satu demi satu, para yogi akan menyadari sesungguhnya tak ada apapun di dunia ini yang cukup berharga untuk dilekati atau diidam-idamkan. Jika melihat sesuatu yang sekilas kita pikir cantik ternyata si cantik itu berlubang-lubang, mudah busuk dan hancur. Karenanya kita akan kehilangan keterikatan atasnya.


Sebagai contoh kita mungkin melihat sebuah lukisan indah yang digoreskan pada suatu kanvas. Saat itu kita berpikir cat dan kanvas secara keseluruhan sebagai suatu kesatuan. Jika lukisan tersebut ditaruh di bawah mikroskop kita akan melihat ternyata gambar tersebut tidak padat dan merupakan satu kesatuan. Karena ternyata lukisan tersebut terdiri dari banyak lubang dan rongga-rongga.


Setelah melihat lukisan tersebut merupakan gabungan dari ruang-ruang kita akan kehilangan ketertarikan padanya. Dengan kata lain ketertarikan kita pada lukisan tersebut akan padam. Ahli fisika modern tahu hal ini dengan baik. Mereka telah mengamatinya dengan peralatan sangat canggih bahwa materi hanyalah gabungan getaran partikel-partikel dan energi yang berubah terus-menerus. Tak ada suatu inti sari yang kekal di dalamnya.


Dengan menyadari ketidakkekalan yang tiada akhir ini para yogi tahu benar-benar tidak ada apapun yang cukup berharga untuk diidam-idamkan. Tak ada apapun yang cukup berharga untuk digenggam di dunia fenomena ini.


Sekarang kita bisa memahami alasan mengapa perlu berlatih meditasi. Kita berlatih meditasi karena ingin menyingkirkan kemelekatan dan kerinduan terhadap obyek-obyek. Itu terjadi melalui pengertian atas merealisir ketiga keberadaan anicca, dukkha dan anatta dari benda-benda secara apa adanya. Dengan cara itulah kita bisa menyingkirkan kerinduan.


Kita ingin menyingkirkan kerinduan karena tidak ingin menderita. Kita harus mengenyahkan kerinduan dan kemelekatan. Kita harus memahami bahwa segala sesuatu muncul dan lenyap. Tak ada substansi yang kekal di dalamnya.


Sekali kita mampu menyadari hal ini maka kita akan mampu menyingkirkan kemelekatan terhadap benda-benda. Sepanjang belum mampu menyadari kebenaran ini, sebanyak apapun buku yang dibaca atau bahan yang didiskusikan (mendiskusikan tentang bagaimana menyingkirkan kemelekatan) kita tidak akan mampu mengenyahkan kemelekatan tersebut. Maka sangat diperlukan memiliki pengalaman langsung bahwa semua benda yang berkondisi adalah tanda dari keberadaan ketiga sifat dasar tersebut.


Lebih jauh kita harus memberikan perhatian penuh saat bermeditasi jalan sama seperti yang kita lakukan saat duduk bermeditasi atau berbaring.


Saya tidak sedang berusaha mengatakan bahwa dengan mempraktekkan meditasi jalan bisa memberikan kesadaran tertinggi dan kemampuan untuk sepenuhnya mengusir kemelekatan. Meski begitu meditasi jalan bisa seakurat seperti meditasi duduk atau jenis posisi meditasi vipassana yang manapun. Meditasi jalan bisa mengakibatkan berkembangnya kekuatan spiritual. Meditasi jalan juga sekuat kesadaran murni melihat kembung dan kempisnya perut. Meditasi jalan juga bisa menjadi alat yang tepat guna menolong kita menyingkirkan kekotoran batin. Meditasi jalan bisa menolong kita meraih pandangan terang melalui melihat ke dalam benda-benda apa adanya.


Selebihnya kita harus berlatih meditasi jalan dengan sungguh-sungguh sama seperti waktu berlatih meditasi duduk atau posisi lainnya. Dengan mempraktekkan semua sikap tubuh dalam meditasi vipassana, termasuk sikap tubuh berdiri, semoga semua yogi bisa meraih pemurnian sepenuhnya dalam kehidupan ini.

Tuesday, March 30, 2010

APAKAH YANG DIMAKSUD KAMMA ?


APAKAH YANG DIMAKSUD KAMMA ?
Bhikkhu Vajhiradhammao


Pada hari ini, saya akan mencoba untuk menguraikan tentang hukum kamma. Kadang-kadang umat Buddha salah mengerti tentang hukum kamma, seolah-olah hukum kamma itu tidak adil. “kok, saya ini sudah sudah berbuat baik, berbuat kebajikan, membantu ke vihara, berdana, berusaha tidak berbuat yang tidak baik. Katanya siapa yang selalu berbuat baik dialah yang menerima buah kebahagiaan. Tapi apa yang saya perbuat itu kok yang saya terima malah sebaliknya”. Dari peristiwa yang dialaminya maka hukum kamma dianggap tidak adil. Ini merupakan pandangan yang salah sekali sebagai umat Buddha.
 
Hukum kamma disebut juga hukum sebab akibat, jadi tidak ada suatu akibat yang terjadi tanpa di awali oleh sebab. Ada sebab lalu timbul akibat. Akibat itu menajdi sebab yang baru sehingga timbul akibat baru. Demikian seterusnya, rangkaian sebab dan akibat ini tidak bisa dipisahkan bagi manusia yang masih memiliki banyak keinginan. 

Menurut ajaran Sang Buddha, kamma atau perbuatan akan menimbulkan akibat karena diawali dengan cetana (kehendak). Oleh karena ada niat, kemudian niat itu terus timbul dalam pikiran, dan selanjutnya berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan badan jasmani. Nah ! inilah yang disebut hukum kamma, yang akan menimbulkan akibat. 

Kalau kita berbuat tanpa disertai dengan niat maka tidak akan timbul akibat. Seperti yang dikisahkan pada jaman Sang Buddha, ada seorang bhikkhu yang bernama Bhikkhu Cakkhupala. 

Dalam suatu masa vassa ia bertekad, “selama vassa ini (selama tiga bulan lamanya) saya tidak akan berbaring”. Karena tekadnya itu hingga menimbulkan mata sakit, dia tetap tidak mau berbaring. oleh karena itu, obat mata yang di teteskan di matanya selalu mengalir keluar. Ahkirnya mata Bhikkhu Cakkhupala menjadi buta. Beliau ahkirnya suka bermeditasi dengan cara berjalan. Karena matanyabuta, dalam melakukan meditasi itu ia menginjak banyak semut, cacing, kecoak, dan lainya sebagainya hingga mati. Hal ini dilaporkan kepada Sang Buddha. Lalu Sang Buddhamemangil Bhikkhu Cakkhupala dan bertanya, “Apakah engkau ada niat untuk membunuh mahluk yang telah kau injak itu ?”“Bagaimana saya punya niat untuk membunuhnya, Sang Buddha, mata saya buta”. “Oh, kalau demikian itu bukan kamma, karena tidak ada niat”. 

Banyak bhikkhu yang tidak tidur selama masa vassa tetapi nyatanya banyak yang sehat matnya. Lalu Sang Buddha menerangkan bagaimana rangkaian perbuatan yang telah dilakukan sehingga menyebabkan perbuatan yang telah dilakukan sehingga menyebabkan kebutaan pada bhikkhu Cakkhupala. 

Diceritakan pada suatu masa kehidupannya yang lampau, bhikkhu Cakhhupala pernah menjadi seorang tabib yang bias mengobati orang sakit mata. Sejak jaman dahulu jika orang mau berobat harus ada imbal baliknya, dokter yang mengobatinya harus dibayar. Demikianlah, ada seorang pembantu yang ingin berobat tapi ia tidak punya uang. Kalau dia mengatakan terlebih dahulu bahwa ia tidak punya uang, mungkin nanti tidak diobatinya, tapi setelah sembuh ia tidak mau bayar. Ia lantas pura-pura masih sakit.
“Aduh, tabib bagaimana mata saya ini belum bisa melihat dengan jelas ?” Sang tabib menjawab, “baiklah, saya akan melanjutkan pengobatannya, matamu agar normal kembali”.

Sang tabib sebenarnya tahu bahwa pasienya sudah sembuh tapi berpura-pura masih sakit. Secara diam-diam ia menyimpan dendam. “orang ini, matanya sudah sembuh tapi dia berkata masih sakit, agar tidak membayar biaya pengobatannya”.

Tabib itu tidak tahu kalau pasienya itu hanyalah seorang pembantu yang miskin. Sang tabib memberikan obat lagi, obat yang mengandung racun, dan dengan dendamnya ia mengatakan dalam hatinya, “Rasakan kamu nanti akibatnya, sudah sembuh bilang belum sembuh.”

Dengan obat yang mengandung racun itu, si pembantu (pasienya) menjadi buta. Ahkirnya sang tabib pun memetik akibatnya, setelah menjadi bhikkhu pun dia masih memetik buahnya. Dia pernah membuat buta orang lain, ia kemudian menjadi buta. Pada saat itu ia sudah mencapai kesucian, matanya buta tetapi batinya sudah terang, sudah melihat Dhamma.

Inilah kamma, ada niat, berusaha dilakukan dan berhasil dilakukan. Sehingga menimbulkan akibat dan yang dinamakan kamma.

Ada empat macam kamma menurut fungsinya. Kamma ini tidak dapat berjalan sendiri tanpa ada factor-faktor yang lainya. Kamma tersebut sangat menentukan, tetapi factor yang lain juga menentukannya. Tidak bias tumbuh sendiri. Yaitu 

·KAMMA YANG MENYEBABKAN KELAHIRAN SESUAI DENGAN MACAM DAN SIFATNYA. KAMMA JENIS INI HARUS DISERTAI DENGAN FAKTOR LAIN YANG DAPAT MENUNJANGNYA.
Misalnya, bagi mahluk hidup yang lahir melalui kandungan, factor pendukungnya adalah adanya ayah dan ibu yang mengadakan hubungan badaniah, bertemunya benih sel seperma dan sel telur yang terjadi proses pembuahan. Proses pembuahan itu adanya patisandhi vinnana (getaran kesadaran) yang masuk. 
 Mahluk yang melalui telur juga ada faktor pendukungnya. Adanya proses pembuahan tadi, kemudian ada telur yang keluar, ada betina yang mengeraminya akhirnya menetas.
Para dewa mempunyai perkecualian. Factor yang menunjang adalah kebajikan. Karena banyak berbuat baik maka seseorang dapat terlahir di alam dewa. Demikian pula mahluk yang menderita yang lahir di alam yang menyedihkan karena banyak berbuat yang jahat.

·KAMMA YANG BERFUNGSI MEMBANTU MEMPERLEMAHKAN APA YANG TELAH DIHASILKAN OLEH KAMMA DI ATAS.
 Mengapa mahluk itu lahir ? Mahluk tersebut karena ia mempunyai simpann kamma. Jadi menurut agama Buddha tidak benar kalau kita mengatakan bahwa bayi yang baru itu masih suci. Kadang-kadang kita berpendapat kalau bayi yang baru lahir kemudian meninggal pasti masuk surga karena ia masih suci, dia belum pernah berbuat apa-apa. Menurut pandangan agama Buddha pendapat tersebut merupakan pengertian yang salah, karena bayi tersebut – walaupun belum sempat berbuat kamma dalam kelahiran yang baru ini – telah mempunyai simpanan kamma dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. 

·MENURUT KEKUATAN BERBUAHNYA KAMMA, YAITU 
Simpanan kamma itu memang tidak kelihatan. Tidak seperti simpanan yang berbentuk fisik yang kita miliki. Suatu waktu, sesuai dengan kondisinya kamma itu pasti akan berbuah. Sebagai perumamaan, kita mempunyai simpanan bibit padi, tapi kondisinya tidak menunjang – kemarau panjang, tidak ada hujan – maka bibit itu tetap tidak dapat berbuah atau tumbuh, tetapi begitu dating musim hujan bibit yang ditanam itu akan tumbuh dan akhirnya berbuah.

·KAMMA YANG BERFUNGSI UNTUK MENGHANCURKAN, YAITU
Kamma ini merupakan jenis yang hampir sama dengan kamma yang melemahkan, karena fungsinya menentang atau melemahkan, sesuatu yang sudah ada. Akan tetapi, kamma ini mempunyai kekuatan yang besar daripada penghancur.
Kini marilah kita lihat bersama kamma menurut jangka waktunya, jadi kamma itu mempunyai jangka waktu sesuai dengan situasi dan kondisinya.

·ADA ORANG YANG BERBUAT DAN LANGSUNG MENDAPATKAN HASILNYA DALAM KEHIDUPAN INI, BAHKAN SEPONTAN MERASAKAN AKIBATNYA.
Ada sebuah cerita. Ada seorang pengembala yang juga seorang pembohong. Suatu hari ia ingin membuat sebuah kejutan, karena ia mengembala setiap hari kok begitu-begitu terus. “Bagaimana caranya, ah………saya akan berbohong”. Gembala ini lalu berteriak-teriak, “Ada harimau, ada harimau makan domba !” Penduduk desa dating berbondong-bondong menolongnya, “Mana harimau-nya, mana harimau-nya ?” Si gembala tertawa terpingkal-pingkal, “Wah, saya berhasil membohongi mereka”.
Hal yang sama itu diulanggi untuk kedua kalinya. Penduduk dating lagi berbondong-bondong ingin menolongnya, tapi tidak ada harimau. Sang gembala tertawa karena berhasil membohongi yang lainya lagi. Tetapi ketika dia minta tolong untuk yang ketiga kalinya karena ada harimau sungguhan yang datang memangsa dombanya, tidak ada seorang pun yang datang untuk menolongnya. Orang-orang berpikir, “Paling-paling dia bohong lagi seperti kemarin”. Ahkirnya, semua dombanya habis mati dimakan harimau. Ini adalah akibat kamma yang langsung berbuah, dalam hal ini karena ia suka berbohong.

·KAMMA BIASA BERBUAH SPONTAN BIAS JUGA BERBUAH PADA KEHIDUPAN-KEHIDUPAN BERIKUTNYA.
Seperti suatu contoh yang kita ketahui, Agulimala. Ia pernah memotong jari dan membunuh orang sekian banyak, tapi pada zaman itu ia bias bertemu dengan Sang Buddha – menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian.
Pada suatu waktu ketika berpindapata ia ada orang melempar anjing dengan batu dan kena kepalanya. Karena Agulimala sudah mencapai tingkat kesucian arahat, maka dengan penuh kesabaran ia mengusap kepalanya dengan menahan sakit. Ia tidak marah. Dengan kepala yang berdarah ia langsung menghadap Sang Buddha menceritakan apa yang dialaminya. Sang Buddha mengatakan, “sabar, sabar, ini memang kamma mu, dulu kamu pernah berbuat yang setimpal seperti yang kau terima sekarang ini”.

·KAMMA YANG BARU BERBUAH SETELAH BERKALI-KALI KEHIDUPAN., YAITU
Oleh karena itu jika kita berbuat baik sekarang kita jangan terlalu mengharap cepat berbuah sepontan. Jkadi kita harus mengerti bahwa kita berbuat baik itu pasti akan ada akibatnya, tapi kita tidak perlu mengharap-harap, tidak meminta-minta, menunggu-nunggu. Jadi berusah dan berbuat yang baik, perbuatan baik itu pasti ada buahnya.
Kalau kita menunggu, meminta-minta, dan mengharap, akan menimbulkan pandanagan yang salah. Apa yang kita nikmatinya, rasakan sekarang adalah hasil dari apa yang diperbuat kitayang lampau. Lalu kita menanam terus karena berbuat bajik itu membawa kita pada kebahagiaan pada kehidupan kini maupun kehidupan-kehidupan yang berikutnya.

·KAMMA YANG TIDAK MEMBUAHKAN AKIBAT, YAITU
Sebenarnya bukan berarti kamma itu terhapus atau hilang, tetapi dapat diumpamakan jika kita mempunyai garam satu genggam atau gula satu genggam dan dimasukkan kedalam air dibak mandi. Maka air didalam bak mandi tidak terasa asin atau manis. Dan kita tidak mungkin dapat mencari dimana garam atau gula itu. Ini adalah perumpamaan dari ahosi kamma.
Sekarang kamma menurut berat ringannya, atau sesuai dengan kekuatan kamma yang telah dilakukannya, yaitu

·PERBUATAN PALING BERAT YANG DISEBUT GARUKA KAMMA.
Perbuatan yang tidak baik, yang paling berat disebut akusala garuka kamma. Ad lima macam akusala garuka kamma yaitu (1) membunuh ibu, (2) membunuh ayah (3) memecah-belah sangha, (4) melukai tubuh seorang Buddha (5) membunuh Arahat.
Ini adalah akusala kamma )perbuatan buruk) yang tidak ada ampun lagi bagi pelakunya. Pelakunya pasti akan terlahir kembali dan tinggal di alam neraka selama berkalpa-kalpa walaupun dia melakukan berbgai jenis perbauatn baik lainya. Seperti Devadatta yang menggulingkan batu ketika Sang Buddha akan lewat hingga Beliau terluka. Setelah meninggal Devadatta terlahir di Neraka Avici. 

Demikian juga dengan Ajatasattu yang membunuh ayah kandungnya sendiri. Dia terlahir di alam neraka avici setelah meninggal dunia walaupun dalam masa kehidupannya-setelah membunuh ayahnya- dia banyak melakukan kebajikan kepada Sang Buddha dan Sangha.

Ada juga kamma paling berat-yang terbaik yang disebut kusala garuka kamma, yaitu pencapaian jhana, suatu pencapaian dalam tingkat meditasi. Terdapat delapan jenis jhana yang dapat dicapai yakni empat tingkat rupajhana dan empat tingkat arupajhana. Seseorang yang telah mencapai tingkat jhana, apabila meninggal dunia akan terlahir di alam jhana sesuai dengan tingkat yang telah dicapainya.

Dari dua jenis Garuka Kamma ini, tentu kusala kamma yang paling sulit dicari dan akusala kamma yang paling mudah untuk dilakukan. Dan dari lima jenis akusala garuka kamma yang ada, di jaman sekarang hanya tinga akusala garuka kamma yang tersisa dan dapat dilakukan oleh seseorang yakni membunuh ibu, membunuh ayah, dan memecah belah sangha. Melukai seorang Buddha tidak mungkin dilakuakn karena tidak ada pada saat ini lagi, dan membunuh Arahat juga sulit karena sangat jarang sekali untuk lahir seorang Arahat karena sangat jarang untuk lahir seorang Arahat di jaman sekarang ini.

Membunuh orang tua (ayah dan ibu) dapat dilakukan oleh siapa saja. Tetapi untuk memecah belah sangha, pada umumnya hanya dilakukan oleh seorang bhikkhu. Memecah belah sangha sulit dilakukan oleh seorang umat awam yang menjalani kehidupan sebagai perumah tangga.
·ASANNA KAMMA
Asana Kamma adalah kamma yang diperbuat oleh seseorang pada saat menjelang kematian atau dapat juga berupa perbuatan yang pernah dilakukan sebelumnya, dan biasanya muncul melalui pikiran. Orang yang akan meninggal dunia itu melihat nimitta (gambaran batinnya), dia melihat macam-macam hal yang sesuai dengan perbuatan dengan sangat jelas.
Ada suatu cerita, seseorang yang dalam hidupnya menjadi seorang tukang jagal babi, ketika si penjagal babi akan meninggalkan dia melihat kunci, pintu grendel, pisau yang tajam, ia berteriak-teriak seperti babi yang mau mati. Inilah asana kammma, yang timbul dalam batin seseorang karena dia ingat akan perbuatan-perbuatannya yang lalu. Oleh karena itu, kalau mau meninggal dunia, hendaknya mengingat hal-hal yang baik saja.
·KAMMA KEBIASAAN
Selanjutnya adalah yang disebut Bahula kamma, kamma kebiasaan. Jika asana kamma tidak mempengaruhi orang yang mau meninggal, yang muncul dan menentukan kelahiran berikutnya adalah kamma kebiasaan-bahula kamma.
Bagaimana kebiasaan orang itu hidup itulah yang akan membawanya pada kelahiran selanjutnya. Ada suatu contoh, di jaman Sang Buddha ada seorang Arahat. Sekalipun sudah mencapai tingkat Arahat, ia masih mempunyai kebiasaan jelek. Kalau ada gundukan tanah-walaupun kecil-ia pasti ambil ancang-ancang dan melompatnya. Kalau selokan kecil, da ambil ancang-ancang dan melompat.
Ada umat yang bertanya kepada Sang Buddha; mengapa demikian ? Lalu Sang Buddha menerangkan dengan pengertian yang dimengerti dengan pengertian oleh si penanya. Bhikkhu ini dalam kehidupan yang lalu pernah lahir menjadi kera, dan dalam kelahiran berikutnya menjadi manusia, kebiasaan loncat-loncat itu tidak bisa dihilangkan. Jadi kamma kebiasaan ini muncul pada kehidupan berikutnya, si pembuat itu tidak menyadari bahwa ia selalu berbuat yang kurang pantas. Jadi hendaknya kita selalu banyak untuk berbuat yang baik, jangan pupuk kebiasaan yang buruk.

Maka kita mengerti hokum kamma secara benar, bahwa kamma itu bias berbuah sekarang, bias berbuah di masa yang akan dating dalam kehidupan ini juga bias berbuah pada kehidupan-kehidupan berikutnya.

Oleh karena itu kita jangan salah mengerti, “saya ini sudah setiap minggu dating ke vihara berdana, kok malah sial, dagangan juga rugi, mau pinjam tidak dipercaya lagi, anak sakit keras, rumah banjir, dimana letak keadilan hokum kamma itu”

Ya……….tunggu dulu, belum waktunya berbuah ! jadi jangan anggap bahwa kamma itu tidak adil. Kammma itu adil, karena tidak mungkin kammma itu berbuah berbarengan, sekalipun kelihatannya bebarengan tetapi sebenarnya ada tenggang waktunya yang kita tidak bias merasakannya. Teruskanlah berbuat kebajikan, perbuatan baik pasti akan ada buahnya. Itu pasti !

Y.A. Anna Kondana

Y.A. Anna Kondana
Oleh: His Royal Highness The Late Supreme Patriarch,
Prince VAJIRANANAVARORASA. THAILAND

Siswa agung pertama, yang kemudian dipanggil Anna Kondana, lahir di dalam keluarga Brahmana yang kaya di desa Brahmana dari Donavatthu, yang jaraknya agak jauh sedikit dari kota Kapilavatthu. Pada mulanya ia dikenal dengan nama Kondanna, saat sebagai seorang anak muda, ia telah mempelajari tiga Veda (kitab-kitab suci dari ajaran Brahmana), bersamaan dengan penguasaan mantera atau membaca tanda-tanda fisik seorang Mahapurisa atau Manusia Agung. Pada waktu kelahiran pangeran Siddhattha, ayahnya raja Suddhodana mengundang 108 Brahmana untuk menghadiri pesta perayaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istananya. Dari seluruh Brahmana yang hadir, delapan di antaranya diseleksi untuk meramal masa depan pangeran dengan membaca tanda-tanda tubuh fisiknya.

Walaupun lebih muda dari yang lain, Brahmana Kondana diundang juga ke pesta perayaan itu, dan terpilih menjadi salah satu dari delapan Brahmana tersebut. Tujuh Brahmana yang lain, setelah membaca tanda-tanda tubuh pangeran, menerangkan bahwa ia akan mempunyai dua kemungkinan, yaitu menjadi raja dunia jika ia memilih untuk hidup sebagai orang biasa atau menjadi seorang Buddha jika lebih memilih penghidupan sebagai seorang petapa. Tetapi Brahmana Kondana yang yakin dengan pengetahuannya, menyatakan bahwa bayi itu akan pasti melepaskan keduniawian dan seterusnya akan menjadi seorang Buddha. Pada saat itu juga Kondana memutuskan bahwa jika ia bisa hidup sampai hari di mana pangeran melepaskan keduniawian, ia akan mengikuti jejak pangeran itu.

Saat pangeran Siddhatta melepaskan keduniawian, setelah mendengar pangeran melakukan latihan yang keras, Kondana membujuk empat Brahmana muda lain pergi dengannya untuk bergabung dengan pangeran. Keempat Brahmana itu adalah anak-anak dari sebagian para Brahmana yang telah meninggal, di mana merupakan Brahmana yang telah mengambil bagian di dalam upacara pembacaan tanda pada saat pangeran masih bayi. Ke-empat Brahmana ini adalah Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Kelima orang inilah yang telah menemukan petapa Siddhatta, menerima kehidupan tanpa rumah sebagai petapa-petapa dan dengan tulus bergabung untuk melakukan latihan keras dari cara tradisi dengan penyiksaan diri. Mereka berharap dapat mendengar apa yang akan ia ajarkan kepada mereka setelah petapa Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Mereka merupakan kelompok pertama pembantu-pembantu yang kemudian disebut dalam bahasa pali sebagai Pancavaggiya atau Kelompok Lima, yang dengan tulus menemani pangeran selama enam tahun, sebelum ia mencapai penerangan sempurna dan menjadi seorang Buddha.

Setelah menjalani semua latihan penyiksaan diri dengan hasil-hasil yang tidak memuaskan, petapa Siddhathta berkesimpulan bahwa itu sudah pasti bukan jalan untuk mencapai pencerahan. Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan latihan-latihan fisik yang keras dan lebih memilih usaha-usaha spiritual. Tetapi ini membutuhkan badan yang lebih sehat dan karenanya ia makan makanan lagi. Melihat bahwa petapa Siddhatta telah meninggalkan latihan fisiknya yang keras, kelima petapa itu menjadi patah semangat, dan berpikir bahwa petapa Siddhattha telah gagal dan berasumsi bahwa ia telah menyerah dan akan kembali ke kehidupan mewah, sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkannya. Jadi mereka pergi ke Taman Rusa di Isipatana, di dekat kota Benares sambil meninggalkan petapa Siddhatta sendirian untuk menemukan sang jalan yang akan menuntun ia ke akhir dari pencariannya.

Beberapa penyusun di kemudian hari memberikan pernyataan yang sangat menarik tentang kejadian ini. Menurut mereka, Kelompok Lima Petapa ini merupakan suatu kondisi yang kondusif bagi pangeran Siddhatta bahwa mereka telah bergabung dengan pangeran selama latihan penyiksaan diri. Merekalah yang menjadi saksi-saksi bahwa pangeran tidak meninggalkan sesuatu yang tidak terselesaikan menyangkut latihan-latihan tradisi yang keras itu dan juga tidak mendapatkan hasil-hasil yang memuaskan. Sehingga Sang Buddha mempunyai suatu dasar untuk menyatakan bahwa pendisiplinan diri yang kejam adalah latihan yang sia-sia. Saat di mana usaha-usaha spiritual memerlukan penyendirian, mereka kehilangan kepercayaan terhadap petapa Siddhattha dan meninggalkannya sendirian.

Perasaan segar setelah memakan makanan secukupnya, petapa Siddhatta sekarang sendirian dan melanjutkan usahanya. Dengan jerih payah spiritual yang luar biasa, ia tidak lama kemudian mencapai Jhana keempat, keadaan penyerapan mental di mana ia sanggup mencapai ketiga Pengetahuan dan selanjutnya menyadari Empat Kesunyataan Mulia, yang telah membebaskan dirinya untuk selamanya dari ikatan-ikatan kekotoran. Setelah mengalami penyerapan dalam kegembiraan yang luar biasa, Sang Buddha, berkat kasih sayangnya melihat bahwa terdapat orang yang dapat mengerti ajaran yang begitu tinggi dan mulia. Harapan Sang Buddha supaya mereka juga bisa menyadari kebahagiaan yang begitu sempurna dan suci.

Pertama-tama, Sang Buddha ingin mengajarkan kepada guru-gurunya yang lalu, seperti Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta di tempat-tempat pertapaan di mana ia pernah menerima ajaran-ajaran mereka tetapi kemudian Sang Buddha mengetahui bahwa mereka telah meninggal. Setelah itu, Sang Buddha teringat kepada Kelompok Lima Petapa yang telah bersama-sama melakukan penyiksaan diri, dan Beliau memutuskan memutarkan Roda Dhamma untuk pertama kali kepada mereka. Sehingga Sang Buddha pergi ke Taman Rusa Isipatana, yang pada waktu itu para petapa sedang tinggal.

Kelompok Lima Petapa itu setelah melihat Sang Buddha dari kejauhan berkesimpulan bahwa setelah menjalani penghidupan yang santai dan senang, Ia datang untuk mendapatkan pengikut-pengikut. Mereka sepakat untuk tidak berdiri untuk menyambut, ataupun untuk menerima jubah dan mangkuknya, ataupun menunjukkan rasa hormat untukNya. Hanya sebuah tempat duduk akan diletakkan dan Ia bisa mengambilnya sendiri jika Ia menginginkannya. Dengan kedatanganNya, bagaimanapun juga, mereka begitu tergerak hatinya karena rasa hormat pribadi mereka yang dulu, sampai lupa dengan kesepakatan mereka dan berdiri untuk menyambutNya, mengikutiNya seperti yang telah mereka lakukan dahulu. Tetapi, sewaktu berbicara denganNya, mereka memakai bentuk sapaan yang tidak tepat dengan menyebut kata Avuso, yang mana adalah sebuah kata umum yang dipakai di antara yang sederajat. Sang Buddha kemudian menjelaskan kepada mereka atas suksesnya dalam memenangkan Tanpa-Mati dan menesehati mereka untuk mendengarkan agar mereka bisa melakukan hal yang sama. Mereka protes bahwa karena Ia telah gagal setelah perjuangan yang keras itu, dan tidak mungkin untuk sukses karena telah menyerah pada usahaNya dan kembali kepada sebuah kehidupan duniawi. Tiga kali Sang Buddha menasehati mereka dan tiga kali juga mereka mengucapkan protes ketidakpercayaan mereka. Setelah itu Sang Buddha bertanya kepada mereka untuk mengingat apakah pernah atau tidak Ia bicara begitu di waktu dulu: yang mana mereka harus menjawab tidak dan dengan begitu mendapatkan kembali kepercayaan mereka kepadaNya.

Kemudian Sang Buddha mulai memberikan khotbah pertamaNya dengan mengajarkan Dhamma, Kebenaran temuan baru kepada Kelompok Lima Petapa. Pertama-tama Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat dua cara penghidupan yang sia-sia, yaitu rasa memuaskan diri atau kenikmatan dalam kesenangan-kesenangan sensual, yang mana adalah begitu lemah di satu pihak, dan penyiksaan diri sendiri atau praktik menyerahkan badannya untuk disiksa, yang mana adalah terlalu keras di pihak lain. Setelah menjelaskan kepada mereka bahwa kedua cara penghidupan ini haruslah dijauhi, Ia melanjutkan untuk menjelaskan Jalan Tengah dari praktik, yang mana adalah temuanNya sendiri, yaitu, Delapan unsur Jalan Mulia, yang terdiri dari Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Setelah itu Sang Buddha memperkenalkan Empat Kebenaran Mulia, yang merupakan Kebenaran tentang Dukkha (Ketidakpuasan: semua ketidakpuasan dari pengalaman, mental atau jasmani, yang kasar maupun halus), Kebenaran dari sebab munculnya Dukkha, Kebenaran tentang lenyapnya Dukkha, dan Kebenaran dari jalan untuk dipraktikan yang menuju pada berhentinya Dukkha. Mengenai kebenaran dari Dukkha, Sang Buddha menggambarkan kedua penderitaan fisik yang natural dan gangguan-gangguan mental yang emosional terlahir dari keinginan dan oleh karenanya bisa dilenyapkan. Menjelaskan kebenaran dari penyebabnya, Ia menyatakan ada corak dari tiga keinginan: keinginan untuk kenikmatan sensual, keinginan untuk hidup, dan keinginan untuk melenyapkan hidup. Ia menjelaskan penghentian dukkha sebagai pemadaman total nafsu keinginan. Untuk Kebenaran yang keempat, Ia meminta agar mereka dapat menjalankan Delapan Unsur Jalan Utama, faktor-faktor yang mana telah ditulis di atas.

Setelah itu, Ia menyatakan bahwa terdapat tiga tahap Pemahaman ke dalam Empat Kebenaran Mulia yaitu, Saccanana atau pengetahuan mengenali mereka sendiri seperti apa adanya, Kiccanana atau pengetahuan mengenali apa yang harus dilakukan, dan Katanana atau pengetahuan mengenali apa yang telah diselesaikan dari apa yang telah dilakukan. Tidaklah sebelum pengetahuan tiga tahapNya ke dalam tiap Empat Kesunyataan Mulia telah disempurnakan, Ia dengan tegas menyatakan dirinya sebagai seorang Buddha, yang telah Mencapai Penerangan Sempurna. Akhirnya, Ia memberitahu mereka tentang manfaat-manfaat yang bisa didapat dari pemahaman yang mendalam tersebut. Dengan kata lain, Kebijaksanaan menyadari kondisi dari Pembebasan Mutlak, disertai dengan pengetahuan bahwa ini adalah kehidupan yang terakhir, penghidupan suci yang telah Beliau sempurnakan, tidak ada lagi yang harus dilakukan demi kesempurnaan.

Menurut para penyusun dari naskah-naskah di zaman dulu, khotbah atau sutta ini dinamakan ”sutta di mana berputarnya Roda Dhamma”, istilah yang sama dengan Roda Permata, suatu simbol kebenaran universal dari seorang raja universal. Dalam bahasa pali itu disebut Dhammacakkapavattanasutta.

Pada saat Sang Buddha sedang memberi kotbah ini, timbul di dalam diri Y.A. Kondana Mata Dhamma, pemahaman yang teramat dalam terhadap sifat dasar dirinya dan semua fenomena yang lain di mana ia sanggup menyadari bahwa ”apasaja sifat dasar itu bermula, di sanalah semua sifat dasar itu berhenti”. Menurut berbagai uraian tentang hal ini, seseorang yang telah mengembangkan Mata Dhamma adalah seorang Pemenang-Arus (dinamakan Sotapanna dalam bahasa Pali) atau seseorang yang telah memasuki arus pencerahan, di mana membuatnya tidak akan kembali atau mengalami kemorosotan. Oleh karena itu, Mata Dhamma ini disamakan dengan ’Jalan’ (atau pencapaian) dari Pemenang-Arus. Y.A. Kondana setelah mencapai kebijaksanaan seorang yang masuk arus pencerahan, menjadi siswa agung pertama dan karenanya menjadi saksi pertama dari pencerahan Sang Buddha sebab ia sendiri mencapai tujuan dari Yang Terberkahi, yang mempunyai satu-satunya tujuan untuk berbagi dengan yang lain-lain, tentang keadaan Tanpa-Mati yang telah Ia temukan. Sang Buddha mengetahui bahwa Y.A. Kondana telah mencapai Mata Dhamma mengucapkan ungkapan yang penuh inspirasi ini: ”Kondana telah mengerti, demikianlah dari saat itu ia dikenal sebagai Anna kondanna, kata pali ”Anna” yang berarti telah mengerti.

Setelah pencapaian Mata Dhamma, Y.A. Kondana, sekarang dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan kepada Sang Buddha, meminta untuk ’maju terus’ (penahbisan) di dalam ajaranNya. Sang Buddha memenuhi permintaannya, dengan berkata, ”Datanglah, O Bhikkhu. Sangat jelas adalah Dhamma. Hidup dengan penghidupan yang suci demi berakhirnya Dukkha.” Ini dianggap sebagai penerimaan resmi ke dalam Sangha (perkumpulan) karena pada waktu itu belum ada prosedur penahbisan. Seorang yang diterima dengan cara begini menjadi Bhikkhu yang sah saat metode penerimaan ini dinamakan penahbisan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Sang Buddha dengan kata ’EHI’ dan berarti ’datang’. Sehingga Para Bhikkhu yang penahbisannya dilaksanakan dengan cara demikian disebut EHI Bhikkhu, Y.A. Kondana menjadi yang pertama dari mereka. Sejak saat itu Sang Buddha memberi berbagai ajaran kepada yang tersisa sampai tinggal dua lagi, Vappa dan Bhoddiya, juga mendapatkan Mata Dhamma dan meminta untuk ’maju terus’, di mana Sang Buddha mengabulkan dengan cara yang sama. Selama periode ini ketiga Siswa-siswa Agung ini pergi keluar mengumpulkan dana makanan untuk kelompok berenam sampai yang tersisa, Mahanama dan Assaji, menjadi Pemenang-arus dikabulkan ’maju terus’ dengan cara yang sama.

Sekarang setelah semua di dalam kelompok sama-sama memperoleh Sang Jalan, Sang Buddha dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman mereka ke tahap akhir Pembebasan, membabarkan khotbah yang berpusat pada karakteristik atau ciri-ciri dari Anatta (bukan diri sendiri atau tanpa roh). Ia menggambarkan lima perpaduan unsur yang terdapat dalam diri seseorang, yaitu bentuk, perasaan, pencerapan, kemauan dan kesadaran, semuanya adalah Anatta. Lebih lanjut, Ia menunjukkan kepada mereka bahwa jika semua perpaduan unsur ini adalah Atta yang mempunyai roh atau prinsip kekal apa saja, mereka tidak bisa menjadi subjek kemunduran dan pencapaian keinginan-keinginan seperti ’Semoga kelima perpaduan unsur bisa seperti ini; semoga perpaduan ini tidak bisa seperti itu; karena lima perpaduan ini adalah Anatta (tanpa roh, tanpa-sang-aku), perpaduan ini haruslah menderita kehancuran dan tidak ada mengubah keadaan ini.

Setelah ini Ia bertanya kepada mereka dan membiarkan mereka menjawab untuk menyakini mereka sendiri bagaimana dengan kebijaksanaan sebab dan akibat yang saling bergantungan dari kelima unsur ini adalah tidak kekal, tidak sempurna dan Tanpa-Sang-Aku. Kemudian Ia menasehati mereka untuk melawan keterikatan kepada satupun dari lima unsur yang terpadu itu, apakah masa lalu, sekarang atau akan datang, apakah sebelah dalam atau di luar, kasar atau halus, jelek atau bagus, jauh atau dekat, yang termasuk melihat dengan pengembangan pemahaman bahwa mereka bukanlah punya saya, mereka bukanlah saya (bentuk/jasmani saya); mereka bukanlah diri saya (pikiran saya). Setelah itu Ia menerangkan pada mereka manfaat-manfaat dari pelepasan, dengan berkata, “Seorang Siswa Yang Mulia setelah menyadari kebenaran ini menjadi bosan dengan perpaduan kelima unsur ini; karena bosan ia menjadi tidak bernafsu; karena tidak ada nafsu ia menjadi bebas; karena telah bebas ia tahu bahwa ia telah bebas. Ia sekarang tahu bahwa ini adalah penghidupannya yang terakhir; telah sempurna hidupnya yang suci dan sudah selesai untuk apa yang harus dilakukan, tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk kepentingan kesempurnaan.

Karena khotbah yang kedua ini berdasarkan Anatta, yang menjadi ciri penentuan sifat dari perpaduan unsur itu, maka disebut uraian Anattalakkhana Sutta.

Selagi Sang Buddha memberikan khotbah ini, Kelompok Lima Petapa, yang sudah menjadi bhikkhu-bhikkhu, sambil merenungkan kata-kata Sang Buddha, terlepas dari kekotoran-kekotoran dan polusi-polusi dan terbebas dari keterikatan terhadap perpaduan unsur itu. Demikianlah mereka semuanya mencapai Arahat, tingkat tertinggi dari Siswa Mulia, melakukan penghidupan suci yang telah disempurnakan dan menjadi kelompok pertama dari Sangha. Mereka telah melengkapi Tiga Permata (Triple Gem) dan memperkenalkan kepada dunia kekuatan tertinggi dari Pengetahuan Sang Buddha. Pada saat itu ada enam Arahat di Dunia.

Menurut uraian (bagian ke tiga dari Samantapasadika halaman 19), adalah pada saat bulan purnama dari bulan Asadha Sang Buddha mencerahkan Y.A. Anna Kondana ke dalam Sang Jalan bagi Pemenang-Arus. Empat hari berikutnya diberikan untuk mengajar sisa empat petapa dan mencerahkan mereka satu per satu ke dalam Sang Jalan, yang sama dan telah dicapai oleh Y.A. Kondana. Dan pada hari ke lima dari penyusutan bulan (bulan lunar Savana), Ia memberikan khotbah yang kedua atau Anattalakkhana Sutta, yang berakhir dengan kemenangan mereka menerobos jalan tertinggi dari pencapaian terakhir dari pencerahan luhur.

Setelah beberapa waktu selagi si pemuda Yasa, dan kemudian empat sahabatnya yang dikenal dan lima-puluh yang lain yang tidak dikenal namanya, telah diberi penahbisan dan mencapai tingkat Arahat, Sang Guru memanggil ke enan puluh murid-murid Arahatnya berkumpul untuk sebuah pertemuan. Beliau menganjurkan mereka untuk membagi tugas pengembaraan demi menyebarkan Dhamma kepada manusia, karena dengan kebajikan ajaran mereka, orang-orang yang bisa mengerti bisa membentuk diri mereka ke dalam jalan perbuatan benar, yang berakibat kepada kebahagiaan dan ketenangan pikiran mereka sendiri. Beliau mengirim mereka keluar ke berbagai jurusan, demikian Beliau berkata pada mereka, sementara Ia sendiri akan pergi ke kota Maghadha untuk tujuan yang sama.

Sesuai dengan arahan Sang Guru, ke enam puluh Arahat berpisah, setiap orang pergi ketujuannya, dan kembali bertemu Sang Buddha pada waktunya,. Pada suatu waktu yang Mulia Assaji, seorang dari Kelompok Lima Petapa, sewaktu perjalanan kembali untuk melihat Sang Buddha di kota Rajagaha, diketemukan oleh pemuda Assaji yang kemudian menjadi Y.A. S1riputta. Karena kagum dengan sikap agung dan ketenangan dari Yang Mulia Assaji selagi mengumpulkan dana makanan, si pemuda, yang pada waktu itu seorang petapa dari aliran yang dipanggil Paribbajaka atau petapa yang hidup dari pemberian orang, bertanya tentang gurunya dan memohon Yang Mulia Bhikkhu untuk memberinya ajaran. Dia mengajar pemuda itu mengenai intisari ajaran Sang Buddha, dengan memberitahunya bentuk ringkasan yang Sang Buddha ajarkan, keduanya sebab-sebab dan akibat-akibat mereka dengan kata-kata: ”Apa saja Dhamma (peristiwa-peristiwa, soal-soal, fenomena) yang timbul dari sebab dan berhenti karena pelenyapan dari sebab, itulah Dhamma yang telah dibicarakan oleh Sang Tathagata. Demikianlah yang diajarkan oleh Sang Petapa Agung.” Walaupun dengan ajaran yang singkat itu, si pemuda Upatissa sanggup untuk mencapai Mata Dhamma. Dia kembali kepada sahabatnya Kolita, yang belakangan menjadi Y.A. Moggallana, dan menolongnya mencapai jalan yang sama dari Pemenang Arus, kemudian keduanya meninggalkan kebiasaan lama mereka dan mulai menjadi penghidupan suci di dalam Sangha.

Y.A. Kondana digolongkan sebagai kepala dari seluruh bhikkhu-bhikkhu karena senioritasnya. Dalam bahasa Pali disebut Rattann3, yang mempunyai arti sebagai yang tertua dan secara konsekuen mempunyai pengalaman yang paling luas. Seorang bhikkhu dari kedudukannya, dengan pengalaman yang bearaneka-ragam dan luas di dalam urusan-urusan Sangha, biasanya dilengkapi dengan keahlian kepemimpinan dan sanggup untuk menuntun dan mengajar bhikkhu-bhikkhu lain dalam mengambil jalan yang benar dalam melakukan hal-hal. Dia menjadi gudang pengetahuan dan pengalaman, nasehatnya bisa dipercaya dan instruksinya pantas dihormati. Komunitas Sangha umumnya mengagumi seorang yang lebih tua dengan kualitas begitu dan inilah mengapa Y.A. Kondana dianggap superior dari seluruh bhikkhu-bhikkhu yang lain dalam hal ini.

Pada suatu waktu Y.A. Kondana melihat potensi spiritual keponakannya, kembali ke desa Brahmana dari Do8avatthu di mana ia dilahirkan. Di sana dia mentahbiskannya sebagai seorang Samanera atau pemula, dengan nama Punna dan membawanya pada Sang Buddha. Dengan kemajuan yang dicapainya, dia merasa tidak nyaman untuk tinggal di kota. Jadi dia mengucapkan selamat berpisah kepada Sang Buddha dan pergi tinggal di sebuah pengasingan di hutan yang menurut uraian dipanggil dengan nama kolam Chaddanta. Pengasingan ini karena nyaman untuknya, ia tinggal di sana sampai meninggal dunia, yang terjadi sebelum Parinibbanna Sang Buddha.

by:His Royal Highness The Late Supreme Patriarch,
Prince VAJIRANANAVARORASA. THAILAND.

Sumber : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,4125.msg68801.html#msg68801