Monday, September 20, 2010

Teladan Sejati




Teladan Sejati

Oleh Dhammavicaro




Sejarah umat manusia mencatat bahwa pada permulaan abad ke enam sebelum Masehi, di bumi ini telah lahir seorang pangeran yang menjalani kehidupan sebagai pertapa; seorang Teladan Sejati sepanjang kehidupan umat manusia pada masa itu, masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah juga menyuratkan bahwa kendati telah mencapai Pencerahan Agung, Sang Buddha Gotama tidak pernah menga- nggap diri-Nya sebagai Putera Tunggal, Utusan, Pembawa atau Penerima pesan kudus dari sesuatu yang adikodrati. Sebaliknya, dengan kejujuran dan kesahajaan, Beliau mengakui diri-Nya terlahir dari dan sebagai manusia biasa, tumbuh sebagai manusia biasa, berjuang untuk manusia biasa, mencapai keberhasilan sebagai manusia biasa, dan membabarkan Kebenaran Sejati (Dhamma) sebagai manusia biasa.

Kenyataan sejarah ini sungguh menakjubkan dan memberikan arti penting dalam mengembalikan, mempertahankan, dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga umat manusia tidak perlu berkecil hati atau bahkan rendah diri karena terlahir sebagai manusia. Ini juga memaparkan betapa mulia harkat dan martabat manusia di dunia ini. Dibandingkan dengan Alam Semesta yang matranya tak terbayangkan ini, memang manusia tidak berarti dalam hal jumlah. Namun, dalam sistem hierarki sesungguhnya kedudukan manusia itu relatif tinggi. Terlahir sebagai manusia adalah akibat dari perbuatan-perbuatan berjasa yang besar dalam kehidupan yang lampau. Manusia tentunya bukanlah pembuat dosa bagi agama-agama. Manusia dapat diibaratkan seperti sebuah rumah yang terletak separuh jalan pada jalan menuju kesempurnaan.

Kendati sebagai seorang putera raja yang akan menduduki tahta kerajaan, Beliau tidak terlena oleh kenikmatan duniawi, kekayaan materi yang berlimpah ruah, kemewehan, kedudukan, atau kekuasaan. Berbeda dengan kebanyakan umat manusia yang terlena dengan kenikmatan duniawi, kebendaan, dan kemewahan, Siddhattha Gotama tidak "diperbudak" oleh kenikmatan duniawi, kebendaan, kekayaan materi, kemewahan, kedudukan, atau kekuasaan di istana. Beliau merasa sangat terharu pada penderitaan umat manusia bukan karena diri-Nya sedang dirundung kesusahan. Ditengah-tengah kejayaan sebagai pangeran, justru Beliau menyadari adanya penderitaan umat manusia dan bertekad mencari jalan untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan.

Pangeran Siddhattha Gotama meninggalkan istana dan keluarga bukan karena terpaksa, dipaksa, atau kepentingan pribadi. Bukan pula karena tak bertanggung jawab kepada keluarga. Beliau meninggalkan mereka bukan karena tidak atau kurang mencintai mereka, melainkan Beliau lebih mencintai umat manusia. Kepergian Beliau bukan kepergian seorang tua yang sudah puas dengan kehidupan duniawi. Bukan pula kepergian seorang miskin yang tidak memiliki apa pun untuk ditinggalkan. Namun kepergian seorang pangeran dalam masa kejayaan, kekayaan, dan kemakmuran ; suatu Pelepasan Agung yang tiada bandingnya dalam sejarah kemanusiaan.

Dengan kemampuan dan kejelian melihat kepincangan-kepincangan dan penderitaan dalam kehidupan ini, Beliau akhirnya meninggalkan istana untuk menemukan jalan (Dhamma) yang dapat membebaskan umat manusia dari penderitaan. Setelah Pelepasan Agung ini, dengan tekad dan perjuangan yang gigih, akhirnya pertapa Gotama berhasil meraih Pencerahan Agung. Beliau menyadari bahwa umat manusia tidak mungkin dapat membangun kebahagiaan hanya semata-mata dengan materi, kedudukan atau kekuasaan. Kecukupan materi dan kesejahteraan lahiriah saja belumlah memadai apabila tidak dibarengi dengan tuntunan Dhamma. Dalam pada itu, materi, kedudukan atau kekuasaan yang kita miliki dapat berubah menjadi bencana yang dapat menghancurkan kehidupan di dunia ini kalau tidak berlandaskan Dhamma. Tanpa tuntunan Dhamma, tak ada pula Kebahagiaan Sejati yang dapat dicapai. Dengan begitu, apalah artinya materi, kekayaan, kedudukan, atau kekuasaan apabila kita masih getol berpikiran ,berucap, dan berbuat yang bertentangan dengan Dhamma? Begitu pula, apalah artinya semuanya itu kalau tidak digunakan untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang banyak. Bagaimana mungkin dapat meraih Kebahagiaan Sejati? jika materi, kekayaan, kedudukan, atau kekuasaan yang dimiliki diperoleh dan digunakan dengan mengorbankan nilai-nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan, serta merobek-robek harkat dan martabat umat manusia.

Sang Buddha Gotama senantiasa berkelana dari satu dusun ke dusun yang lain, dari satu desa ke desa yang lain, dari satu kota ke kota yang lain, dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain untuk membabarkan Dhamma kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kasta, keturunan, kebangsaan, warna kulit, jenis kelamin, tingkat sosial, kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dan banyak segi lainnya. Beliau merintis dan membangun kehidupan suci, membabarkan Dhamma demi kepentingan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan banyak orang, dan lebih daripada itu Beliau mengajarkan apa yang telah dilaksanakan dan melaksanakan apa yang diajarkan. Pendek kata, selain mengajarkan teori, membabarkan Dhamma, Beliau juga memberikan teladan bagi umat manusia. Kenyataan ini yang memperlihatkan bahwa Sang Buddha Gotama adalah Teladan Sejati, Teladan Agung bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara serta bagi umat manusia.

Keteladanan yang telah ditunjukkan Sang Buddha tidak hanya setelah berhasil meraih Pencerahan Agung. Tatkala masih muda belia, pangeran Siddhattha Gotama yang ikut menghadiri perayaan membajak sawah dengan kesungguhan hati duduk bermeditasi dengan tenang. Fenomena ini sangat menakjubkan karena pada waktu itu Beliau melakukan perenungan terhadap keterlepasan dari kesenangan inderawi, meraih Pencerapan pertama (Jhana I) dibawah pohon juwet. Bhikkhu Narada mengulaskan bahwa peristiwa ini merupakan pengalaman keagamaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang kelak selama mencari kebenaran, menjadi kunci tercapainya Pencerahan Agung. Sebagai pengikut Sang Buddha, hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwa praktek meditasi sesungguhnya dapat dilaksanakan tidak hanya pada masa muda atau masa tua, akan tetapi bahkan pada masa kanak-kanak. Melaksanakan meditasi tidak harus menunggu sampai ketika dewasa dan terlebih-lebih sesudah usia tua.

Sementara itu, pada masa kanak-kanak, Siddhattha Gotama juga dikenal sebagai anak yang penuh cinta kasih dan welas asih terhadap sesama makhluk hidup. Beliau menyelamatkan kehidupan seekor belibis hutan yang pada waktu itu ditembak jatuh dengan sebuah panah oleh Devadatta. Tatkala Devadatta bersikeras meminta untuk menyerahkan belibis tersebut dengan alasan bahwa itu adalah miliknya, Beliau mengatakan bahwa belibis tersebut tidak akan diserahkan kepadanya. Beliau memberikan alasan apabila belibis itu telah mati, barulah dapat dikatakan belibis tersebut adalah kepunyaannya. Karena kenyataan belibis itu masih hidup dan Beliaulah yang menolongnya, Devadatta tak berhak untuk memilikinya. Perdebatan yang dilakukan seorang pangeran kecil ini bukan seperti anak-anak yang sedang bertengkar untuk memperebutkan sesuatu. Melainkan, Beliau berpendapat tak seorang pun di dunia ini yang boleh sewenang-wenang menghancurkan kehidupan makhluk hidup. Ini menunjukkan bahwa kehidupan makhluk hidup bukanlah milik orang yang ingin menghancurkannya.

Dalam pertemuan dengan seorang anak muda bernama Sigala, Sang Buddha menunjukkan penghargaan besar terhadap kemajuan materi dan moral dalam kehidupan umat manusia. Pada kesempatan itu, Beliau memberikan wejangan kepada Sigala tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hubungan orang tua dengan anak-anaknya, guru dengan muridnya, suami dengan istri, hubungan antara sahabat, keluarga dan para tetangga, majikan dan bawahannya, serta hubungan para pertapa dan brahmana dengan umatnya? Wejangan yang termaktub dalam Sigalovada Sutta ini memperlihatkan kepada kita betapa penting menjaga, memelihara, membina dan mengembangkan keharmonisan keluarga, kekerabatan, kemitraan, kehidupaan sosial, dan kehidupan keagamaan.

Dalam menjalani kehidupan suci, selain menunjukkan perhatianNya kepada cita-cita yang luhur, kesilaan/kemoralan yang tinggi, dan pembebasan batiniah, Sang Buddha juga menaruh perhatian yang besar terhadap kesejahteraan penghidupan umat manusia sehubungan dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini, tampaknya perlu di sitir beberapa sutta yang memperlihatkan hal tersebut. Dalam Cakkavattisihanada Sutta , Sang Buddha dengan tegas mengatakan bahwa kemiskinan yang merajalela merupakan penyebab utama terjadinya kejahatan,dan perbuatan-perbuatan tak bermoral lainnya.

Pada galibnya, Raja-raja di zaman dulu dan juga pemerintahan di zaman sekarang mencoba memerangi kejahatan itu dengan memberlakukan hukuman berat atau bahkan hukuman mati. Sehubungan dengan pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku delik kejahatan, ada pendapat yang mengatakan setuju sekali. Selain untuk melampiaskan dendam kepada pelaku kejahatan, ini juga dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan delik kejahatan yang sama. Pendapat lain mengatakan boleh saja asalkan eksekusinya dijalankan dengan cara-cara manusiawi; tidak mencerminkan kekejaman.

Sebetulnya kalau kita mau jujur dan objektif, pelaksanaan hukuman mati adalah suatu pelaksanaan hukuman yang sudah melampaui tujuan semula. Suatu hukuman dijatuhkan adalah untuk mendidik serta membina pelaku kejahatan agar menyadari kesalahannya dan mau mengubah perangainya yang jelek. Jika dihukum mati, bagaimana mungkin dia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri? Betapa pun besar kejahatan yang dilakukan seseorang, tidak ada hak untuk mencabut nyawanya. Sangatlah tidak adil apabila suatu hukuman sengaja divonis lebih berat supaya masyarakat luas takut dan tidak melakukan kejahatan yang sama. Itu sama dengan merangkap kejahatan 'seluruh' masyarakat untuk dibebankan kepada satu orang saja.

Dalam Kutadanta Sutta dituliskan bahwa mengatasi kejahatan yang merajalela dengan cara memberikan hukuman berat dan hukuman mati tidaklah dapat menyelesaikan permasalahan. Kejahatan tidak akan lenyap dengan cara seperti itu. Permasalahan ini dapat diatasi dengan cara memperbaiki dan meningkatkan penghidupan umat manusia. Misalnya, kepada petani disuplai bibit dan peralatan pertanian, Pedagang (terutama pedagang kecil) di berikan modal kerja, kaum buruh harus mendapat gaji atau upah yang layak dan cukup. Apabila rakyat mendapat kesempatan bekerja dan mendapat penghasilan yang memadai, mereka akan merasa puas dan tidak lagi dirundung oleh kegelisahan hidup. Dengan begitu, negara menjadi aman dan terbebas dari kejahatan.

Pada zaman Sang Buddha Gotama, dapat dijumpai perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam hal kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan , yang oleh agama tertentu akhirnya diabsahkan dan dipertahankan dalam bentuk sistem kasta yang kaku. Sang Buddha dengan tegas menentang penerapan sistem kasta yang ditujukan untuk memilah-milah dan memecah-belah umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Sang Buddha-lah yang pertama kali berusaha menghapus penerapan sistem kasta yang sangat berurat berakar dalam masyarakat india pada waktu itu. Sutta Nipata , Vasala Sutta , menyuratkan bahwa Beliau dengan tegas menentang penerapan sistem kasta tersebut dengan berujar: "Kelahiran tidak membuat seseorang menjadi buangan. Kelahiran tidak membuat seseorang menjadi brahmana. Perbuatanlah yang membuat seseorang menjadi buangan. Perbuatanlah yang membuat seseorang menjadi brahmana." Kemudian, dalam beberapa syair Dhammapada juga mencerminkan sikap tegas Sang Buddha terhadap penerapan sistem kasta. Beliau mengatakan bukanlah karena rambut berkonde, keturunan atau kelahiran seseorang menjadi brahmana.... (Begitu pula), bukanlah karena terlahirkan dalam keluarga brahmana atau dari ka- ndungan ibu brahmana seseorang disebut brahmana. Apabila masih memiliki noda batin, ia menjadi brahmana hanyalah karena sebutan.... ( Brahmana-Vagga 393 dan 396).

Disamping itu, di India pada zaman Sang Buddha, seorang wanita tidak dipandang sebagai penambah kebahagiaan dalam keluarga serta tidak dihargai. Pada waktu Ratu Mallika melahirkan seorang putri dan kemudian Raja Kosala merasa tidak senang dengan berita tersebut, Sang Buddha mencoba menjelaskan dan memberikan penghargaan besar kepada kaum wanita dengan menyebutkan empat ciri utama yang dimiliki wanita sebagai berikut: "Beberapa wanita sungguh lebih baik [daripada pria]. Besarkanlah dia, O Raja para manusia. Ada wanita yang bijaksana,bajik, memperlakukan ibu mertua sebagai dewi, dan hidup suci. Pada istri mulia seperti itu akan lahir anak yang gagah berani, seorang raja dunia, yang akan memerintahkan kerajaan." ( Samyutta Nikaya, bagian I )

Pernyataan yang bersahaja dan mulia ini secara langsung maupun tidak langsung telah membangkitkan semangat kaum wanita terutama dalam usaha menempuh kehidupan suci ditengah-tengah kebudayaan masyarakat india yang tidak menghargai harkat dan martabat wanita. Sudah banyak wanita yang berhasil meraih tingkat kesucian setelah mereka mendengar dan mempraktikkan ajaran Sang Buddha,beberapa diantaranya adalah: Ratu Maha Maya (ibunda pangeran), Ratu Maha Pajapati Gotami (ibu asuh pangeran), Yasodara (istri pangeran), Patacara, Khema, Visakkha , dan lain sebagainya.

Kalau ditilik keberadaan Sangha yang dirintis Sang Buddha dalam membangun kehidupan suci, Sangha sesungguhnya merupakan lembaga demokratis yang tertua di dunia. Orang dari berbagai kasta, keturunaan, warna kulit, kebangsaan dan sebagainya bukanlah menjadi halangan untuk menjadi pengikut Sang Buddha. Demikian pula, seseorang yang menjalani kehidupan sebagai bhikkhu atau bhikkhuni akan bersatu dalam pasamuan Sangha yang tidak mengenal pembedaan (diskriminasi). Dengan begitu, Sangha hendaknya dijadikan teladan bagi organisasi-organisasi Buddhis, bahkan lembaga-lembaga politis yang mendambakan kesejahteraan lahiriah dan batiniah, yang menghargai kebebasan individu, kebebasan dalam berpikir dan mengungkapkan pandangan, dan cita-cita demokrasi.

Ajaran Sang Buddha terkenal menentang segala bentuk diskriminasi, tanpa kekerasan, dan memuliakan perdamaian. Bagi orang yang masih terpaku dengan dikotomi antara menang dan kalah dalam suatu perselisihan atau peperangan dengan musuhnya, tampaknya mereka perlu menyadari dan merenungkan sabda Sang Buddha dalam Dhammapada, Sukha-Vagga 201 yang berbunyi: "Kemenangan membangkitkan kebencian, sedangkan pihak yang kalah hidup dalam penderitaan. Dengan menanggalkan kemenangan dan kekalahan, seseorang yang batinnya penuh kedamaian niscaya hidup berbahagia." Dari sabda tersebut, memperlihatkan bahwa peperangan tidak akan menciptakan perdamaian melainkan menciptakan kebencian dan penderitaan. Dalam bagian lain dari Dhammapada , yaitu Sahassa-Vagga 103-104. Sang Buddha mengatakan sebagai berikut: "Penakluk terbesar bukanlah orang yang dapat menaklukan ribuan musuh dalam beribu kali pertempuran, melainkan orang yang dapat menaklukan diri sendiri. Penaklukan diri sendiri itulah yang jauh lebih luhur. Bahkan dewata maupun Gandhabba, Mara maupun Brahma tidak dapat mengalahkan kembali orang semacam itu, yang memiliki pengendalian dan penguasaan diri."

Peperangan dengan dalih apa pun tidak dapat dibenarkan. Penggunaan kekuatan militer dan ancaman perang dengan dalih perdamaian dunia sebagaimana yang sering dijadikan alasan oleh negara adikuasa hanyalah isapan jempol. Tindakan-tindakan yang represif dan provokatif seperti itu niscaya menimbulkan kebencian, itikad jahat, dan permusuhan. Perdamaian dunia hanya dapat dicapai dengan tanpa peperangan, masing-masing pihak yang bertikai menanggalkan sifat egoisme, menghargai harkat dan martabat umat manusia, bersungguh-sungguh menyelesaikannya dengan tanpa kekerasan, dan berlandaskan cinta kasih. Ketika kaum Sakya dan kaum Koliya sedang berselisih satu sama lain perihal air di sungai Rohini, dan masing-masing pihak berniat untuk melakukan peperangan, Sang Buddha segera turun tangan dan melerai mereka untuk menghindari peperangan yang mungkin terjadi. Dalam kesempatan lain, Beliau juga berhasil menyadarkan Raja Ajatassatu yang pada waktu itu berniat untuk berperang melawan suku Vajji. (lihat: Maha Parinibbana Sutta )

Teladan Sejati yang telah ditunjukkan oleh Sang Buddha benar-benar memberikan inspirasi bagi pengikut-Nya. Pada kehidupan Sang Buddha, dalam pemerintahan kita mengenal Raja Suddhodana (ayahanda pangeran), Raja Bimbisara, dan Raja Ajatasattu. Mereka semua sangat mendukung Sang Buddha. Setelah mengenal agama Buddha dan dan menyatakan berlidung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, mereka senantiasa berpegang teguh pada Dhamma dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam hal penempuhan kehidupan keagamaan, mereka juga berhasil meraih tingkat kesucian. Raja Suddhodana berhasil meraih tingkat kesucian Arahat, Raja Bimbisara meraih Sotapanna, sedangkan Raja Ajatasattu dikenal senantiasa menyokong kebutuhan hidup para bhikkhu, membangun sebuah stupa sebagai tempat persemayaman peninggalan jasmaniah ( saririka-dhatu ) Sang Buddha Gotama ,dan lebih daripada itu, Beliau memberikan andil yang sangat berharga dalam penyelenggaraan muktamar pertama di Rajagaha untuk menghimpun dan merangkum ajaran murni Sang Buddha Gotama.

Keteladanan Sang Buddha dan para siswa-Nya juga memberikan insprirasi kepada generasi berikutnya kendati kemangkatan mutlak Sang Buddha sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Walaupun generasi belakangan tidak melihat langsung keteladanan Beliau dalam arti mengetahui berdasarkan riwayat dan ajaran yang telah diwariskan dalam Kitab Suci Tipitaka, sejarah membuktikan bahwa seorang Teladan Sejati akan menciptakan juga Teladan Sejati lainnya. Sepanjang ada keteladanan mulia yang dikenal umat manusia, terdapat kemungkinan kemunculan Teladan Sejati yang lain. Sebagai contoh yang paling tepat adalah Raja Asoka. Kaisar Buddhis ini terkenal sebagai tokoh yang anti kekerasan; cinta damai, cinta kasih; sangat menghargai hak asasi setiap penduduknya dalam memeluk agama, kepercayaan, atau sektenya masing-masing.

Tampaknya, Teladan Agung dari Sang Buddha tentang toleransi, sikap tenggang rasa, tanpa kekerasan, cinta damai, dan cinta kasih benar-benar dipraktikkan oleh Kaisar Buddhis yang termasyhur ini. Beliau adalah seorang pemimpin besar yang termasyhur dalam sejarah, yang mempunyai keberanian, keyakinan, dan pandangan jauh untuk mempraktikkan ajaran Sang Buddha. Sebelum memeluk agama Buddha, Ia terkenal sebagai raja yang tidak segan-segan membantai beribu-ribu manusia demi menaklukan dan menguasai negara lain. Namun, ketika Raja Asoka mengenal dan memeluk agama Buddha, Beliau kemudian menyadari kesalahannya tatkala mengingat pembantaian itu.

Sebagaimana yang terbukti dalam batu-batu prasastinya Rock Edict XIII misalnya, Raja Asoka secara terbuka menyatakan kesalahannya. Kemudian Beliau menerangkan kepada umum bahwa ia tidak akan menggunakan pedangnya lagi untuk menaklukan negara lain dan ia berharap agar semua makhluk hidup dapat melaksanakan anti- kekerasan, hidup bersih dan ramah tamah. Bukan saja ia menolak peperangan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menyatakan harapannya agar juga anak-anaknya dan cucu-cucunya tidak lagi berpikir tentang penaklukan negara-negara lain sebagai sesuatu yang berharga untuk dilakukan. Mereka harus berpikir tentang penaklukan dengan cinta kasih yang berguna untuk dunia ini dan juga berguna untuk dunia selanjutnya.

Hal ini dapat dijadikan contoh teladan yang paling tepat bagi pemimpin-pemimpin dunia pada zaman sekarang maupun zaman yang akan datang. Ia sebagai pemimpin satu kerajaan agung dan besar, yang secara terbuka menolak peperangan dan kekerasan, dan menjalankan ajaran tentang tanpa kekerasan, dan perdamaian. Lagipula, sejarah membuktikan bahwa negara-negara tetangganya tidak mengambil kesempatan dari cinta kasih Raja Asoka dan menyerbu dengan kekuatan tentara mereka atau telah terjadi pemberontakan atau kerusuhan dalam negeri semasa ia masih hidup. Sebaliknya, negara-negara berada dalam keadaan aman, dan damai serta negara tetangga ternyata telah menerima kepemimpinannya.

Dari ulasan ini terlihat betapa pentingnya sebuah keteladanan disamping kita memerlukan teori, konsep, petunjuk, wejangan, dan tuntunan Dhamma Sang Buddha. Apabila dikaitkan dengan tekad kita mewujudkan masyarakat adil, makmur, damai dan sentosa, suatu teladan benar-benar sangat dibutuhkan. Sebagaimana diketahui bersama, kalau generasi tidak memberikan teladan yang baik, sulit pulalah untuk melahirkan generasi baru yang lebih baik. Begitu juga apabila pemimpin atau pejabat pemerintah tidak jujur, korupsi, kolusi, tidak bermoral, sudah dapat dipastikan bawahan dan rakyat pun terpengaruh dan ikut-ikutan. Dan sebaliknya, apabila seorang pemimpin atau pejabat pemerintahan melaksanakan Dhamma dan memberikan teladan yang baik, tak diragukan lagi cita-cita masyarakat adil, makmur, damai dan sentosa akan segera terwujud.

Hal ini bukanlah isapan jempol belaka, dan bukankah telah terbukti dalam sejarah tentang keteladanan dan kepemimpinan Raja Asoka pada abad ke tiga sebelum Masehi? Persoalannya sekarang adalah mau bersungguh-sungguh atau tidak untuk mewujudkannya demi kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. Sesungguhnya diri sendiri dituntut untuk memberikan contoh, panutan, dan Teladan Sejati bagi generasi kemudian. Bukankah kelak atau mungkin sekarang juga kita adalah seorang pemimpin, pemimpin rumah tangga, pemimpin organisasi, pemimpin agama, pemimpin teras, pemimpin kecil, pemimpin formal atau pemimpin informal? Setiap orang hendaknya menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta teladan bagi umat manusia. Itulah Teladan Sejati yang telah diwariskan Sang Buddha Gotama dan para siswa-Nya kepada umat manusia dalam menempuh kehidupan di dunia yang penuh dengan tantangan ini.

"Dalam menempuh kehidupan ini, manusia memang memerlukan contoh dan teladan yang baik. Namun, agaknya sebagian besar dari mereka terlalu menuntut suatu keteladanan dari orang lain. Sebetulnya, diri sendiri juga seharusnya dituntut untuk memberikan teladan yang baik. Hal ini barangkali sering dilupakan dan diabaikan orang."

Sumber acuan:
1. Dhammasari, Sumedha Widyadharma.
2. Kitab Suci Dhammapada, Terbitan LPD Publisher.
3. Riwayat Hidup Buddha Gotama, Sumedha Widyadharma.
4. Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya, Bag.1 & 2, Bhikkhu Narada.

(
Dikutip dari Mutiara Dhamma XIV, atas izin dari Ir. Lindawati. T )

No comments:

Post a Comment