Saturday, July 31, 2010

Terbitnya Matahari Kemanusiaan


Terbitnya Matahari Kemanusiaan
oleh Sri Paññavaro MahaThera
      Tanggal 11 Juli 1987, kita sekalian umat Buddha memperingati hari yang amat bersejarah bagi kehidupan umat manusia, tidak lain adalah hari suci Asadha. Tepat dua bulan setelah mencapai kebuddhaan yaitu pada saat purnama sidhi di bulan Asadha, yang bersamaan dengan bulan Juli; sang Buddha mengajarkan Kebenaran ariya untuk pertama kalinya. Peristiwa yang dikenal juga dengan Kotbah Pertama ini terjadi ditamam rusa Isipatana, dekat kota Benares. Lima orang petapa bekas teman berjuang yang dahulu meninggalkan Beliau, merupakan orang-orang paling berbahagia yang mendengarkan Kebenaran untuk pertama kalinya. mereka itu adalah, yang Mulia: Kondanna, Bhadduiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.

      Apakah sesungguhnya yang telah Beliau kumandangkan kepada dunia, pada waktu Beliau menyampaikan kotbah-Nya yang pertama? Hingga peristiwa itu mempunyai arti yang amat penting, bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Dalam kotbah pertama Beliau itulah Beliau menyampaikan hakekat kehidupan umat manusia, dan tujuan kehidupan ini. dan lebih dari pada itu, Beliau menunjukkan jalan yang Agung, Yang Suci, unutk membebaskan manusia dari penderitaan sdan kemelaratan batin. Semuanya Beliau simpulkan dalam Empat Kebenaran Ariya yang sangat terkenal; jantung dan sumber dari seluruh ajaran Beliau.

      Sekarang marilah kita tinjau apakah Kebenaran Ariya yang pertama itu. kebenaran Ariya pertama adalah kebenaran tentang adanya derita yang mencengkram kehidupan ini.
      Dari lahir sampai akhir hayat kita, proses jasmani yang melalui usia tua, melewati bermacam-macam penyakit; semuanya adalah bentuk-bentuk dari derita. Inilah derita secara jasmaniah. Semua aspek mental yang tidak menyenangkan sedih, putus-asa, kegagalan, dan 1001 macam gangguan batin, adalah bentuk-bentuk penderitaan mental kita . Penderitaan jasmani dan mental ini merupakan penderitaan yang sangat terasa menyengat hidup kita (dukkha-dukka). Namun, sesungguhnya apapun juga yang tunduk pada sifat ketidakkekalan, yang senantiasa berubah-ubah, yang tidak pernah memuaskan, adalah derita (viparinama-dukka). Dan pada hakekatnya kehidupan kita ini adalah timbunan dari kelompok-kelompok derita (sankhara-dukkha).

      Derita inilah yang pertama-pertama dihadapkan oleh Sang Buddha kepada kita, yang Beliau kumandangkan sebagai jeritan umat manusia sepanjang masa. Kita tidak boleh menutup mata pada kebenaran tentang adanya penderitaan dalam kehidupan. Kita harus menghadapi dan menyadarinya. kebenaran Ariya yang kedua adalah kebenaran tentang sebab timbulnya penderitaan itu. Sebab itu tidak lain adalah nafsu-nafsu keinginan (tanha). Nafsu keinginan untuk memuaskan rangsangan pikiran dan lima pintu-indria kita, adalah sumber derita. Suatu ketika kekayaan yang dikumpulkan dengan tekun, rumah yang megah bertingkat, habis musnah, karena masuk ke mata, atau masuk ke mulut, atau ke indria-indria lainnya. Inilah nafsu keinginnan indria (kama tanha) yang sangat ganas pada suatu ketika; merupakan sumber derita yang amat dasyat.

      Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul nafsu keinginan untuk senang terus; untuk berbahagia terus, untuk muda terus, untuk hidup terus; dengan bermnaca-macam cara ditempuhnya keinginannya itu. Inipun termasuk nafsu keinginan hidup terus (bhavatanha), merupakan sumber penderitaan juga. Dan , kalau pada suatu ketika usaha gagal, kalau keluarga tidak harmoni, kalau dikejar-kejar penyesalan; timbullah keinginan untuk cepat-cepat meninggal, untuk bunuh diri, untuk memusnahkan hidupnya sendiri; karena beranggapan sesudah kematian tidak ada lagi sesuatu di baliknya. Ini adalah nafsu-keinginan untuk memuaskan hidup ( vibha-tanha), yang menjadikan juga sebab timbulnya penderitaan ini.

      Bahkan penderitaan yang kecil-kecil sampai yang amat mengerikan, seperti misalnya: cekcok rumah-tangga, pertengkaran, penyelewengan,tindak pidanma; sampai peperangan yang menelan korban ribuan umat manusia. Apakah sebabnya?Dimanakah sumbernya? Tidak lain, bersumber dari nafsu-nafsu keinginan. Inilah jawaban yang paling tepat.

      Apakah yang Beliau sampaikan tentang Kebenaran Ariya ketiga? Kebenaran ariya ketiga adalah kebenaran tentang Kebahagian Tertinggi yang mampu dicapai oleh setiap orang. Bila mereka mau, dan mau berusaha dengan tekun, engan penuh semangat, untuk melenyapkan sebab-sebab penderitaa itu secara mutlak.

      Kebenaran Ariya keempat menuntut penghayatan dari setiap orang. Karena Kebenaran Ariya keempat ini adalah Jalan Agung, Jalan Yang Ampuh untuk melenyapkan sebab-sebab penderitaan. Hingga mereka yang menghayatinya pasti mencapai Kebahagian Tertinggi atau Nibbana. Jalan Keramat itu sesungguhnya hanyalah satu, namun terdiri dari delapan unsur yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya.Jalan berunsur delapan ini disebut juga Jalan Tengah. Karena Jalan ini tidak berkompromi dengan pendapat yang menganggap bahwa dengaa memenuhi nafsu-nafsu indria kebahagian sejati bisa dicapai; dan juga jalan ini tidak berkompronomi dengan pendapat yang mengatakan bahwa dengan menyakiti atau menyiksa badan jasmani, kebahagiaan bisa tercapai.

      Setiap orang yang melangkahkan kaki di atas Jalan Tengah Keramat harus mengembangkan tiga latihan, yaitu:
      1. SILA
      Sila adalah latihan dari: Ucapan benar, perbuatan benar, dan mata-pencaharian benar. Sila adalah menjaga dan mengendalikan pintu-pintu indria kita. Bila Saudara hidup dengan mempunyai sila yang baik, Saudara menjadi pengawas bagi hidup Saudara sendiri.

      2. SAMADHI
      Samadhi berarti: mengembangkan semua perbuata baik. Berusaha mengerjakan segala sesuatu yang bertalian dengan kebaikan, dengan penuh perhatian dan kesadaran. Berjuang sungguh-sungguh membangun keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa. Inilah arti dari mengembangkan latihan Samadhi. Dengan latihan latihan Samadhi, Saudara akan menjadi manusia pembangun yang sejati.

      3. PANNA
      Mengembangkan Panna berarti: mengembangkan kebijaksanaan; yaitu dengan jalan memumpuk pengertian yang benar tentang kehidupan ini, dan menjaga pikiran dari timbulnya keserakahan, kekejaman, dan kekerasa. Mengetahui antara yang benar dan yang tidak benar. Antara yang berguna dan yang tidak berguna. Menyadari bahwa tugas kita belum selesai, kita harus berjuang dengan tekun, dengan gigih, dan ulet. Inilah ynga disebut dengan kebijaksanaan. Latihan dari ketiganya: Sila, Samadhi, dan Kebijaksanaan, adalah latihan melaksanakan Jalan Tengah Keramat yang membawa terbebasnya hidup kita masing-masing dari cengkeraman deria, baik lahir maupun batin. Makna kotbah pertama yang disampaikan oleh Sang Buddha pada hari suci Purnama Siddhi Asahda lebih dari 2500 tahun yang lalu, tetap bergema, tetap segar dan menjiwai hidup kita, laksana terbitnya matahari kemanusiaan.

Disadur dari, "Kumpulan Dhammadesana oleh Sri Paññavaro Thera Jilid I"

Friday, July 30, 2010

Jangan Menaruh Dendam di Hati

Jangan Menaruh Dendam di Hati
oleh Sri Paññavaro MahaThera
      Dalam kehidupan ini kita tidak mungkin hidup sendiri. Sebagai anggota keluarga, kita hidup di tengah-tengah anak istri, atau anak dan suami kita. Dalam pekerjaan, kita hidup di tengah-tengah teman-teman kita sekantor, atau ditengah-tengah kawan-kawan kita satu pabrik. Sebagai pelajar, kita hidup di tengah-tengah pelajar atau mahasiswa lainnya. Sebagai anggota masyarakat, kita hidup di tengah-tengah ribuan, bahkan jutaan sesama kita. Memang kenyataan, kehidupan di bumi bukan kehidupan di sorga. Di tengah-tengah lingkungan kita ini, kita tidak bisa membayangkan keharmonian dan ketentraman sampai nanti kita menutup mata. Suatu saat, teman kita sendiri, atau mungkin orang yang tidak kita kenal, berbuat sesuatu yang tidak kita sukai kepada kita.

      Apakah di dalam pekerjaan, apakah dalam dunia usaha, apakah sebagai pelajar, bahkan juga di tengah-tengah pengabdian sosial; kita sering mendapat perlakuan yang tidak kita senangi, tetapi juga sering mereka mengganggu, merugikan, dan merusak kita. Dengan seribu satu macam alasan mereka-mereka itu melakukantindakannya kepada kita. Mungkin hanya karena salah faham. Mungkin juga karena kita yang memang salah. Tetapi, juga mungkin, karena iri hati kepada kita. Tidak rela kita menjadi maju, atau tidak setuju kita jadi seperti ini; dan sebagainya, masih banyak lai. kemudian, kita kena makian, kena hinaan. Kena fitnah, kena damprat. Milik kita, mungkin hilang, kita tetipu, atau kadang-kadang diminta dengan paksa. dan masih banyak lagi yang bisa kita lihat di dalam kehidupan kita sendiri, juga pada kehidupan di sekitar kita.

      Kalau kita melihat dengan kacamata duniawi, kita memang melihat, bahwa pelaku-pelaku terhadap diri kita ini adalah: si A, si saudaraku B, si suamiku sendiri, si C, si D, si dia, si itu, dan lain-lain. Dalam satu artikel pernah diumpamakan; maka kemudian pikiran kita ini seperti buku telepon yang tebal saja; yang hanya berisi berderet-deret daftar nama-nama orang saja. Nama-nama dari sekian banyak orang yang menjekelkan kita, yang menyakitkan hati kita, yang merusak milik kita. Semua itu adalah orang-orang yang masuk di dalam daftar dendam kita. dan setiap saat, nama-nama itu muncul berganti-ganti menganggu ketenangan hidup kita. Kita ditarik-tarik oleh hawa nafsu untuk membalas kebencian kepada mereka satu-persatu; tidak peduli apakah dia atau kita yang sebenarnya salah.

      Kalau pikiran sudah sedemikian itu maka kita akan susah tidur. Susah untuk mempunyai ketenangan di dalam. Kehidupan kita gelisah; mudah tersinggung, dan batin kita menjadi beku. Sebaliknya, kalau kia meletakkan kacamata duniawi, dan memakai kacamata atau lensa Kesunyataan unutk melihat kejadian-kejadian pada diri kita ini, maka pakah yang kita lihat? Yang kita lihat adalah: Apa yang sebenaarnya terjadi! Sesungguhnya bukan sang suami yang menyakiti saya, bukan si dia yang mengikari janji, bukan si A, si B, si C, bukan si ini atau si itu yang membuat semuanya ini terjadi pada diri kita sendiri. Karena kita, semua itu terjadi, menimpa diri kita.

      Oleh karena, di dunia di mana pun juga, tidak ada satupun peristiwa, apakah peristiwa menyenangkan,yang terjadi dengan begitu saja. Semua yang terjadi pada kita, itu adalah akibat dari perbuatan kita masing-masing; baik yang kita perbuat pada kehidupan ini, maupun yang telah kita perbuat pada kehidupan kita yang lampau, yang berbuah. Oleh karenanya, jaganlah kita dendam. Apaun yang terjadi pada diri kita, adalah akibat dari perbuatan kita masing-masig. Bukan dibuat oleh orang lain kemudian dilemparkan kepada kita. Bukan! Ini adalah hukum Kesunyataan, hukum karama yang universal.

      Jangan menyalahkan, apalagi membenci orang lain, siapa pun juga. Karena, kita harus mengerti, apapun yang terjadi pada kita itu, adalah apa yang harus kita terima adalah akibat dari perbuatan kita masing-masing. Itulah keadaan kita yang sesungguhnya kalau kita mau melihatnya dengan kacamata Kesunyataan, dengan Kesunyataan dengan kacamat Dharma. Kemudian timbul satu pertanyaan. Lalu bagaimana sikap kita pada mereka yang mengganggu ketentaman kita? Bagaimankah tindakan kita pada mereka yang berbuat jahat pada kita? Apakah kita harus toleran terhadap mereka? Dan apakah mereka itu tidak membuat karma jelek baru? Sikap untuk menyadari, bahwa apapun yang menimpa kita adalah akibat dari perbuatan jelek kita sendiri, yang memang harus kita terima; adalah sikap kita yang pertama. Tetapi, bukan berarti hanya pertama itu saja kemudian kita berhenti. Langkah pertama untuk menyadari bahwa yang terjadi pada kita adalah akibat dari karma kita masing-masing, adalah sikap berpikir yang amat penting. Oleh karena dengan menyadari hal itu, kita tidak akan menaruh dendam pada mereka-mereka yang berbuat jahat ada kita. Dan kalau rasa dendam ini berusaha kita atasi, maka usah baik yang tulus. Karena kalau rasa dendam yang membakar dada kita belum kita atasi lebih dahulu, maka semua nasehat kita, petunjuk-petunjuk kita, untuk mereka menjadi pelampiasan dendam dan benci kepada mereka.

      Dan juga, sesungguhnya kita harus kasihan melihat mereka yang berbuat jahat; baik berbuat jahat kepada kita maupun kepada orang lain. Mengapa kita kasihan, dan kemudian membantu mereka supaya mereka jangan melanjutkan atau mengulangi perbuatan-perbuatan jahat itu lagi? Kita kasihan, karena kita mengerti, bahwa mreka yang berbuat jahat itu, pada suatu saat, pasti, memetik penderitaan sebagai akibatnya. Ini adalah hukum Ilahi. Hukum Karma yang universal.
      Kalau seadainya hukum Karma itu tidak ada, maka tidak ada gunanya kita menghindari kejahatan. Kalau seandainya hukum Karma itu tidak ada, tidak ada gunanya undang-undang ynag mengatur manusia, supaya tidak berbuat jahat. Hukum Karma adalah Kesunyataan Universal. Kita harus menerima akibat dari setiap perbuatan kita. Apakah kita lupa pada perbuatan kita, apakah kita mengharap buahnya atau tidak; akibat dari setiap perbuatan pasti datang pada kita.

      Oleh karena itu, marilah kita bertekad untuk meiuhurkan bangsa dan negara kita ini dengan banyak berbuat baik. Jangan kita menjadi anggota masyarakat yang suka berbuat jahat. karena selain merugikan orang lain, kejahatan itu akan menghancurkan kita sendiri. Dan kita semua, satu persatu, tidak ada yang ingin hidupnya hancur. Dalam Samyutta Nikaya dicatat kata-kata Kesunyataan sang Buddha yang sangat terkenal :
      “Yadidam vaphate bijam, tadisam labhate phalam,
      Kalyanakari ca kalyanam, papakari ca papakam.”
      Artinya :
      “Sesuai dengan bibit yang disebar
      Begitulah buah yang kan dipetik
      Pembuat kebaikan akan memetik kebaikan
      Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan.”

      Demikian juga dalam Dharmmapada 110, Sang Budddha mengatakan:
      “Mereka yang hidup seratus tahun, berbuat jahat dan tidak mengendalikan diri, maka hidup sehari saja adalah lebih baik bagi orang yang mempunyai sila dan selalu sadar.”
      Jangan kita main tipu, jangan kita main clurit, main bajak, atau main paksa; hanya untuk mencari harta. Seorang yang mengerti,akan mempunyai sikap hidup demikian: Lebih baik kita hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan; seperti yang telah dianjurkan oleh setiap ajaran agama, dan juga oleh Pemerintahan kita. Hendaknya kita hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, tetapi mempunyai moral dan ahlak yang biak. dari pada hidup dengan harta berlebihan tetapi banyak kejahatan yang diperbuat.

      Pada suatu saat, nanti tengah malam, besok atau beberapa tahun kemudian, kita semua akan mati. Setelah kematian, bukan harta yang mengikuti kita, tetapi perbuatan kita yang akan selalu ikut ke mana kita pergi; baik perbuatan-perbuatan yang baik maupun perbuat-perbuatan yang jelek.
      Kalau kita mengerti hukum karma, merenungkan hukum Karma, dan yakin pada hukum Karma, maka kita akan takut berbuat jahat. Takut pada akibat berbuat jahat. Takut pada akibat kejahatan. Karena akibat kejahatan itu adalah kehancuran bagi kita sendiri.

      Bahkan, kalau kita berpikir lebih jauh, maka kan kita lihat jelas lagi. Kalau kita berbuat jahat pada satu orang, bukan hanya satu orang itu saja yang kita rugikan. Mereka yang lain kan ikut merasa takut, merasa khawatir. Mereka khawatir, jangan-jangan pada kesempatan lain kita berbuat jahat seperti itu kepada mereka. Kehadiran kita membuat rasa tidak aman bagi banyak orang. Tetapi sebaliknya, kalau kita mengendalikan hawa nafsu kita, tiadak berbuat jahat, mempunyai moral baik, menjalankan sila dengan baik, bisa dipercaya, tidak menipu; itu berarti kita sudah nmemberikan kepada mereka.Abhaya dana: Rasa aman. Rasa aman ini diperlukan setiap orang, termasuk kita masing-masing.

      Dengan pengertian hukum Karma yang merasuk, merasuk sampai ke tulang sumsum kita; mendarah mendaging pada hidup kita, kita akan bersemangat dalam perbuatan baik. Perbuata baik yang luhur dan tulus. Karena kita mengerti benar, bahwa kebaikan akan membawa kebahagian, keharmonian, dan kedamaain; bagi banyak orang, maupun bagi masing-masing kita. Damai di luar, dan juga damai di dalam batin.

      Akhirnya, sekali lagi, mari kita bertekad: Jaganlah kita menaruh dendam pada siapapun juga. Berusaha sungguh-sungguh menyadari bahwa, apapun yang terjadi pada kita adalah akibat dari karma kita masing-masing. Kemudian, berusaha sebanyak mungkin menambah dan mengisi terus kehuidupan ini dengan kebaikan.

Disadur dari, "Kumpulan Dhammadesana oleh Sri Paññavaro Thera Jilid I"

Thursday, July 29, 2010

Berkah Kehidupan


Berkah Kehidupan
oleh Sri Paññavaro MahaThera
      Kalau suatu keluarga sudah lama belum mempunyai putra, kemudian lahir seorang putra, maka keluarga ini merasa mendapat berkah. Tetapi, ada suatu keluarga yang lain, yang merasa sial, karena anak pertamanya adalah wanita. Mereka berpendapat anak wanita hanya ikut-ikutan saja. Kalau nanti suami masuk sorga, sang istri ikut; kalau masuk neraka tersangkut. wanita harganya hanya separo laki-laki. Adapula suatu keluarga, yang meskipun anak pertamanya wanita, tetapi karena anaknya lahir pada hari dan bulan yang baik, maka mereka merasa anak tersebut adalah berkah bagi hidupnya. Menurut keluarga ini, anak yang lahir pada hari dan bulan baik, meskipun wanita, kelak pasti mampu mengangkat derajat orang tuanya.

      Berlainan dengan hal tersbut di atas, berkah akan menjadi lain bila terjadi di dunia keuntungan. Suatu hari pedagang sayur merasa mendapatkan keuntungan. Suatu hari pedagang sayur merasa mendapatkan berkah, karena hari itu keuntungan Rp. 5.000,- sudah masuk kedalam kantong. Keuntungan ini dua kali lipat bila dibandingkan pada hari-hari biasa. Tetapi, si pedagang roti hari itu merasa sial. Baginya keuntungan bersih Rp. 5.000,- sehari hampir tidak pernah dialami. Paling kecil Rp. 25.000,- sehari. Sebenarnya, keduanya mendapatkan keuntungan dengan jumlah yang sama, tetapi yang pertama merasa mendapatkan berkah, sedangkan yang kedua merasa sial.

      Demikian juga umat Buddha. Bila umat Buddha mengikuti upacara, puja bakti, atau peringatan-peringatan hari suci lainnya, akan merasa menerima berkah kalau mendapat percikan air paritta. Apakah benar air paritta adalah berkah, dan mereka yang tidak hadir atau tidak mendapatkan air paritat adalah tidak mendapatkan berkah? Sesungguhnya persoalan berkah ini sudah ada sejak zaman sang Buddha. Pernah masyarakat pada waktu itu memberikan tentang berkah. Kelompok yang satu mempunyai pandangan lain dengan kelompok yang lain. Orang yang satu mempunyai pengertian berbeda dengan yang lainnya. Dikisahkan bahwa persolan berkah yang sesungguhnya itu menjadi ramai dibicarakan sampai 12 tahun lamanya. Tidak ada kesepakatan yang dicapai. Sampai-sampai di dalam kitab suci dicatat, persoalan berkah masuk juga ke alam dewa. Mereka memperdebatkan juga dengan sengit, apakah berkah itu?

      Akhirnya, persoalan berkah ini sampai kepada Sang Buddha. Kepada Beliau yang sempurna pengetahuannya, yang telah menemukan dan mencapai jalan Ketuhanan. Yang telah menunjukkan kepada kita tentang adanya Yang Mutlak, Yang Esa, sehingga tumbuh harapan dan keyakinan bagi kita untuk bisa bebas dari lingkaran penderiataan ini. Sang Buddha memberi jawaban tentang persoalan berkah ini dengan sangat unik. Suatu jawaban yang tidak pernah kita duiga-duga sebelumnya. Sang Buddha sama sekali tidak pernah memberi jawaban demikian:
      “O, air yang sudah disembahyangkan, dan kemudian dipercikan kepadamu, itulah berkah!”
      Atau:
      “Mempunyai anak yang lahir pada hari ini atau itu, dalam bulan ini atau itu; itulah yang Ku-nyatakan berkah!”
      Tetapi Sang Buddha memberikan jawaban tentang berkah, bahkan utama, pada bagian pertama sekali dalam kotbah Beliau tentang berkah adalah demikian:

      “Tidak bergaul dengan orang bodoh
      Bergaul dengan mereka yang bijaksana
      Menghormati mereka yang patut dihormati
      Itulah Berkah Utama”

      Manggala Sutta atau kotbah tentang Berkah yang diberikan Sang Buddha tersebut berisi uraian berkah dari yang paling rendah sampai ke berkah yang paling tinggi. Pertama sekali Sang Buddha menunjukkan bahwa, tidak bergaul dengan orang-orang bodoh adalah berkah. Siapakah sesungguhnya orang-orang bodoh itu?Yang dimaksud dengan orang bodoh adalah; yang menganggap bahwa membunuh, mencuri, berzina bukan perbuatan jahat. Mereka-mereka menganggap bahwa perbuatan baik dan jahat sama sekali tidak berakibat. Mereka-mereka inilah orang-orang bodoh yang harus kita hindari. manusia tidak lepas dari pengaruh sekelilingnya,. Kita pun belum mencapai kesucian

      Kalau kita selalu bergaul dengan orang-orang yang tidak memperdulikan moral, maka kita bisa ikut menjadi tidak bermoral. memang sudah seharusnya kita sayang kepada mereka. Kita perlu menuntun kehidupan mereka ke arah yang benar. Tetapi kita harus ingat juga;bahwa bukannya tidak mungkin kita terpengaruh oleh cara -cara hidup mereka. oleh karena itu, kita harus menjaga diri dengan baik pada saat berhubungan dengan mereka yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Janganlah kita menganggap bahwa kita adalah orang yang sama sekali tidak bisa terpengaruh.
      Selanjutnya dinyatakan dalam Manggala Sutta bahwa, mempunyai kesempatan bergaul dengan orang-orang yang bijaksana adalah berkah. Orang bijaksana selalu memberi semangat kepada kita pada waktu kita lupa. Bergaul dengan orang yang bijaksana akan memberi manfaat besar bagi kehidupan kita. Kemudian kalimat selanjutnya: Bisa memberi penghormatan kepada mereka yang sudah selayaknya dihormati adalah berkah.

      Dalam bagian selanjutnya, Sang Buddah menyatakan demikin :
      “ Hidup di negara yang tepat
      Mempunyai kebajikan dalam hidup yang lampau
      Menuntun diri ke arah yang benar
      Itulah Berkah Utama”

      Hidup di negara yang tepat adalah suatu berkah. Apakah yang dimaksud dengan negara yang tepat, yang merupakan berkah itu? Negara yang merupakan berkah, adalah bila di negara itu hidup ajaran Dharma, hidup ajaran agama. Sebaliknya, bila seseorang hidup di suatu negara yang tidak memperhatikan dan bahkan melarang kehidupan beragama. Negara yang rakyatnya harus menganggap bahwa kehidupan ini tidak ada akibat atau pertanggungan jawab lagi atas perbuatan-perbuatan kita. Di negara yang tidak bisa menghayati ajaran agama, ajaran Dharma, untuk mencapai kebahagiaan lahir dan keluhuran batin. Maka berarti hidup di negara yang tidak memungkinkan seseorang menempuh jalan untuk mengakhiri penderitaan.

      Berbahagialah kita yang lahir di tanah air ini, di negara Indonesia, dimana Pancasila menjadi landasan berdirinya kemerdekaan. Di negara Pancasila, Ketuhanan Yng Maha Esa diletakkan di tempat utama, bukan disisihkan. Disini kehidupan beragama, ajaran agama, ajaran Dharma, tumbuh dengan, baik , bahkan pemerintah memberikan perhatian sangat besar. Kehidupan keagamaan adalah kehidupan yang membentuk manusia berketuhanan. Di negara yang berketuhanan kita mendapatkan kesempatan menghayati Dharma. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa memperkuat harapan bagi umat Buddha, memperkuat, keyakinan umat Buddha untuk mencapai kebebasan mutlak. Sebaliknya di suatu negara yang Ketuhananya disisihkan, bahkan dimusuhi, maka harapan umat Buddha dibuat suram dan keyakinan mereka untuk bebas dari penderitaan dihancurkan. Itulah sebabnya Sang Buddha menunjukkan kepada kita, bahwa hidup di negara yang tepat ( Patirupadesavaso), di negara di mana ajaran agama, ajaran Dharma hidup dengan baik adalah merupakan berkah. Bagi umat Buddha negara merdeka, negara Pancasila kita ini, adalah negara yang membawa berkah utama. Dan sesungguhnya atas Pancasila itulah yang membuat negara ini memenuhi definisi Dharma untuk tepat disebut sebagai: Negara Berkah Utama.

      Selanjutnya marilah kita ikuti jawaban Sang Buddha tentang apakah berkah utama yang lain. hal tersebut dapat dilihat pada penjelasan di bawah:
      “Memiliki pengetahuan dan kertrampilan
      Terlatih baik dalam tata susila
      Ramah tamah dalam ucapan
      Itulah Berkah Utama

      Membantu ibu dan ayah
      Mendukung anak dan istri
      Bekerja tanpa cela
      Itulah Berkah Utama

      Berdana dan hidup sesuai Dharma
      Menolong sanak saudara
      Bekerja tanpa cela
      Itulah Berkah Utama

      Menjahui, tak melakukan kejahatan
      Menghindari minuman keras
      Tekun melaksanakan Dharma
      Itulah Berkah Utama

      Selalu hormat dan rendah hati
      Merasa puas dan terima kasih
      Mendengarkan Dharma pada saat yang sesuai
      Itulah Berkah Utama

      Sabar, rendah hati bila diperingatkan
      Mengunjungi para Samana
      Membahas Dharma pada saat yang sesuai
      Itulah Berkah Utama

      Bersemangat, menjalani hidup suci
      Menembus Empat Kebenaran Ariya
      Serta mencapai kebebasan sejati
      Itulah Berkah Utama

      Meskipun tergoda hal-hal duniawi
      Namun batin tak tergoyahkan
      Tiada susaah, tanpa noda, penuh damai
      Itulah Berkah Utama.”

      Dari jawaban Sang Buddha di atas, akan terlihat bahwa memiliki pengetahuan luas dan ketrampilan adalah termasuk memiliki pengetahuan sempit, yang malas menuntut ilmu, yang tidak mempunyai ketrampilan, adalah orang-orang yang tidak memiliki berkah Utama. Sang Buddha sendiri menunjukkan bahwa pengetahuan dan ketrampilan adalah berkah utama. Dan memang pengetahuan dan ketrampilan adalah salah satu syarat untuk berhasilnya pembangunan lahir-batin kita. Sejak dahulu Sang Buddha mengingatkan kepada kita untuk mempunyai berkah dalam kehidupan ini, salah satunya adalah dengan menuntut ilmu seluas mungkin dan mempunyai ketrampilan.
      Jadi tidak benar, kalau ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa agama Buddha mengajarkan hal-hal yang serba supra-natural, acuh tak acuh dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, bahwkan menyuruh umatnya untuk menjadi petapa di hutan -hutan . Hal ini sama sekali tidak benar.

      Selanjutnya Sang Buddha pun menyatakan: Orang, yang bisa memberikan bantuan kepada ibu dan ayah yang bisa memberikan bantuan kepada ibu dan ayah, selalu memenuhi kewajiban kepada anak dan istri, atau suami, bekerja bebas dari pertentangan : adalah juga berkah Utama.
      Lebih tinggi lagi, Sang Buddha menunjukkan: kalau kita mempunyai kerendahan hati, kalau bisa mempunyai kerendahan hati, kalau bisa mempunyai rasa puas dan tahu berterima kasih; inilah berkah utama. Jadi sebaliknya, orang yang tinggi hati, sombong adalah orang yang tidak memiliki berkah. Orang yang keserakahannya besar, yang tidak mengenal puas, artinya:selalu menuntut hasil jauh lebih besar dari usaha yang dilakukan ;orang itu tidak memiliki berkah.

      Sang Buddha menunjukkan: orang yang sabar adalah orang memiliki berkah utama. Orang yang bersemangat adalah orang memiliki berkah utama. Hidup dalam kerukunan dan persatuan adalah kebahagian, tetapi orang yang mengusahakan persatuan dan kerukunan serta orang yang mempunyai tapo, artinya: semangat untuk membangun kerukunan dan persatuan adalah orang yang memiliki berkah utama.

      Akhirnya Sang Buddha menyatakan: mencapai kebebasan dari lingkaran penderitaan, tiada susah, tanpa noda dan penuh damai, inilah berkah utama tertinggi. Kalau diperinci, terdapat 38 berkah utama dan, pada penutup Kotbah tentang Berkah yang terkenal itu, Sang Buddha mengatakan:
      “Karena dengan mengusahakan hal-hal itu
      Manusia tak terkalahkandi mnanapun juga
      Serta berjalan aman ke man saja
      Itulah Berkah Utama mereka.”

      Dengan berkah kehidupan ini, marilah kita bangun kehidupan kita masing-masing lahir dan batin. Karena dengan mulai membangun keluarga dan masyarakat di mana kita hidup secara bersama-sama. Sungguh bahagia, dapat membangun lahir dan batin dalam Berkah Utama ini.

Disadur dari, "Kumpulan Dhammadesana oleh Sri Paññavaro Thera Jilid I"

KITAB SUCI AGAMA BUDDHA


    KITAB SUCI AGAMA BUDDHA

    Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pâli dan Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal sebagai 'pitaka' atau 'keranjang', yaitu :

    1. Vinaya Pitaka
    2. Sutta Pitaka, dan
    3. Abhidhamma Pitaka

    Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pâli) atau Tripitaka (sansekerta).

    Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).

    VINAYA PITAKA

    Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
    1. Sutta Vibhanga
    2. Khandhaka, dan
    3. Parivâra.

    Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.

    Kitab Khandhaka terbagi atas Mahâvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

    Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan calon bhikkhu (sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

    SUTTA PITAKA

    Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu :
    1. Dîgha Nikâya,
    merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).

    2. Majjhima Nikâya,
    merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.

    3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.

    4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.

    5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu :
    a. Khuddakapâtha, berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra, Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.

    b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

    c. Udâna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.

    d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavâ (demikianlah sabda Sang Bhagavâ).

    e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.

    f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.

    g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.

    h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.

    i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.

    j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.

    k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta; sedang Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipâta.

    l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathâ).

    m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.

    n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.

    o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.

    ABHIDHAMMA PITAKA

    Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :

    1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.

    2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.

    3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.

    4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.

    5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.

    6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.

    7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).

    Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.

    Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha Nikâya.

HAKEKAT AGAMA BUDDHA

      HAKEKAT AGAMA BUDDHA

      1. TUHAN YANG MAHA ESA DALAM AGAMA BUDDHA

      Setiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pemeluk agama yang sadar, percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah sama dengan umpamanya : percaya adanya suatu telaga di suatu puncak gunung yang tinggi. Percaya tentang adanya suatu telaga di puncak gunung tidak berpengaruh pada sikap hidup dan perilaku seseorang sehari-hari. Tetapi sebaliknya, percaya tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa berakibat penyerahan diri (attâsanniyyatana) kepada-Nya. Penyerahan diri itu berakibat pula dalam perbuatan, dan perbuatan itu adalah amal ibadah (puñña). dan itulah yang disebut beragama. Corak perbuatan itu adalah kesadaran, dilakukan dengan sadar, bukan kebiasaan, bukan adat istiadat, bukan pula tradisi. Perbuatan beragama memberikan pengalaman yang mengintegrasikan hidupnya. Demikianlah maka hidupnya mempunyai tujuan, dan oleh sebab itu menjadi bermakna. Sering kita lihat orang berkecukupan dalam materi, berpangkat dan berkuasa, tetapi mereka itu tidak adanya tujuan. Tujuan itu terdapat dalam setiap agama.

      Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainkan melalui Bodhi (Penerangan Sempurna). Sejak mulai disampaikannya Dhamma oleh Sang Buddha Gotama, dalam agama Buddha telah terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memungkinkan kita bebas dari samsara (lingkungan tumimbal lahir), yang merupakan tempat perlindungan sampai tercapainya Pembebasan Mutlak (nibbâna), yang menyatukan semua insan, yang menjadi tujuan terakhir.

      Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sementara orang akan heran dan tercengang mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan sejak kotbah-Nya yang pertama. Keheranan itu disebabkan karena banyaknya tulisan di Indonesia yang menyatakan bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan, bahkan menyangkal adanya Tuhan. Anggapan demikian sebenarnya adalah suatu kesalahan semantik, salah paham bahasa, karena orang secara bebas menterjemahkan istilah-istilah dari literatur Barat ke dalam bahasa Indonesia, seperti misalnya: 'god' dengan 'Tuhan', 'theisme' dengan 'percaya Tuhan'.

      Kalau kita perhatikan ajaran agama-agama yang berbeda-beda tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan bila kita bandingkan berbagai-bagai pengertian itu sering nampak seolah-olah ada yang bertentangan, akan tetapi terdapat pula persamaan di antara perbedaan-perbedaan itu, antara lain bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.

      Hampir pada semua agama terdapat anthropomorphisme (memahami Yang Mutlak/Tuhan dengan ukuran bentuk manusia) dan anthropopathisme (memahami Yang Mutlak dalam ukuran perasaan manusia). Dalam hal ini karena agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan), maka kecenderungan jatuh ke dalam anthropomorphisme dan anthropopathisme tersebut tidak terdapat dalam agama Buddha.

      Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.

      Sebelum perkataan 'Tuhan" diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia telah ber-Tuhan, akan tetapi tidak disebut dengan perkataan 'Tuhan'. Di Jawa dikenal perkataan 'Pangeran'. Perkataan 'Pangeran' itu mempunyai akar kata 'her', 'tempat diam untuk menghadap orang tua'; kata kerjanya 'angher', 'tinggal pada suatu tempat untuk mengabdi'; maka perkataan 'Pangeran' berarti 'yang diikuti, yang diabdi'. Dalam hal ini tidak ada unsur memohon, meminta sesuatu, mengaharapkan sesuatu dari 'Pangeran', akan tetapi karena mengabdi dan mengikuti, maka pasti akan diperoleh berkah atau buah (pahala).

      Tuhan atau Pangeran dalan bahasa Jawa sering digambarkan sebagai : "gesang tanpa roh; kuwaos tanpa piranti; tan wiwitan datan wekasan; tan kena kinaya ngapa; ora jaman ora makam; ora arah ora enggon; adoh tanpa wangenan; cedak tanpa gepokan (senggolan); ora njaba ora njero; lembut tan kena jinumput; gede tan kena kinira-kira", yang artinya :

      "Hidup tanpa roh; kuasa tanpa alat; tanpa awal tanpa akhir; tak dapat diapa-siapakan; tak kenal jaman maupun perhentian; tak berarah tak bertempat; jauh tak terbatas; dekat tak tersentuh; tak di luar tak di dalam; halus tak terpungut; besar tak terhingga".

      'Yang Mutlak' adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan, 'Yang Mutlak' disebut dengan 'Tuhan Yang Maha Esa'.

      Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha kita dapatkan dari sabda-sabda Sang Buddha, seperti yang dituliskan dalam Kitab Udana :

      "Atthi bhikkhave ajâtam abhûtam akatam asankhatam,no ce tam bhikkhave abhavisam ajâtam abhûtam akatam asankhatam, nayidha jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa nissaranam paññâyatha. Yasmâ ca kho bhikkhave atthi ajâtam abhûtam akatam asankhatam, tasmâ jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa nissaranam paññâyâ'ti:.

            artinya :

      "Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu". (Udâna, VIII : 3)

      Untuk memahami Yang Mutlak ini, seseorang harus mengembangkan pengertiannya, dari pengertian duniawi (lokiya) sampai memperoleh pengertian yang mengatasi duniawi (lokuttara), yang hanya dapat dicapai oleh insan yang sadar, yang telah membebaskan diri dari cengkeraman kamma dan kelahiran kembali. Pengertian ini tidak dapat dimiliki oleh manusia yang batinnya masih dicengkeram oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).

      Dengan demikian, jelaslah bahwa agama Buddha benar-benar mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mutlak. Hal ini penting sebagai penegasan kepada mereka yang mengira bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dengan sendirinya agama Buddha dianggap tidak berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

      2. KEYAKINAN DALAM AGAMA BUDDHA

      Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tisarana (Tiga Perlindungan). Rumusan itu berbunyi :

      Buddham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Buddha
      Dhammam saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Dhamma
      Sangham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Sangha

      Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha sendiri (bukan oleh para siswaNya atau mahluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh orang arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat menusia. Sang Buddha bersabda : "Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi sâmanera dan bhikkhu) hendaklah: setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning . . . bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, dan berkata: "Aku berlindung kepada Buddha", "Aku berlindung kepada Dhamma", "Aku berlindung kaprda Sangha" (Vinaya Pitaka I, 22).

      Sang Buddha menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanera dan bhikkhu, tetapi juga bagi umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Nampaklah betapa luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi umat Buddha 'berlindung kepada Tiratana' merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti 'syahadat' bagi umat Islam dan 'credo' bagi umat Kristen.

      Trisarana adalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha yang diungkapkan dengan kata 'berlindung' itu mempunyai tiga aspek :

      1) Aspek kemauan : Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddha dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai Pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, 'menunggu berkah dari atas'.

      2) Aspek Pengertian : ini mencakup pengertian akan perlunya perlindungan yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua mahluk dalam samsara ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.

      Adanya Tiratana sebagai Perlindungan telah diungkapkan sendiri oleh Sang Buddha. Tetapi hakekat Tiratana sebagai Perlindungan Terakhir hanya dapat dibuktikan oleh setiap orang dengan mencapainya dalam batinnya sendiri. Dalam diri seseorang, Perlindungan itu akan timbul dan tumbuh bersama dengan proses untuk mencapainya. " Dengan daya upaya, kesungguhan hati dan pengendalian diri, hendaklah orang yang bijaksana membuat untuk dirinya pulau yang tidak akan tenggelam oleh air bah" (Dhammapada, V : 25).

      Buddha, sebagai perlindungan pertama, mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha. "Seperti sayalah para penakluk yang telah melenyapkan kekotoran batin" (Ariyapariyesanâ Sutta, Majjhima Nikâya). Sebagai perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Petapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi daripada Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).

      Dhamma, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin menusia biasa yang masih berada dalam alam keduniaan (lokiya, mundane), melainkan "Empat Tingkat Kesucian" beserta 'Nibbâna' yang dicapai pada akhir Jalan.

      Sangha, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kumpulan para bhikkhu yang anggota-anggotanya masih belum bebas dari kekotoran batin (bhikkhu sangha), melainkan Pasamuan Para Suci yang telah mencapai Tingkat-Tingkat Kesucian (ariya-sangha). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh. Namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.

      Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (supramundane, lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan terakhir semua mahluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang Tertinggi oleh sang Buddha. Buddha, Dhamma dan Sangha atau Tiratana adalah manifestasi, perwujudan, pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam alam semesta ini, yang dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha.

      3) Aspek Perasaan (emosionil) : yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan memberikan kayakinan yang kokoh dalam diri sendiri, serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya; dan pengertian akan hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.

      Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa 'berlindung' dalam agama Buddha berarti : "Suatu tindakan yang sadar, yang bertujuan untuk mencapai Pembebasan yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan". Atau secara singkat : "Suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian".

      Ketiga aspek daripada 'berlindung' ini sesuai dengan aspek kemauan, aspek rasionil dan aspek emosionil dari batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama.

      Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan kata-kata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seseorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan tanpa bertindak untuk mencapainya. Tindakan pertama kearah keselamatan dan kebebasan ialah dengan 'berlindung' secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.

      3. POKOK-POKOK AJARAN SANG BUDDHA

      Agama Buddha yang oleh umat Buddha dikenal sebagai Buddha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang diungkapkan oleh Sang Buddha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh karenanya dapat membebaskan menusia dari ketidaktahuan (avijjâ) dan penderintaan (dukkha).

      Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, telah timbul pelbagai mahzab dan sekte, yang saling berbeda dalam cara masing-masing menafsirkan segi-segi tertentu dari ajaran Sang Buddha, juga dalam ritualnya. Akan tetapi, sekalipun terdapat perbedaan di antara mahzab dan sekte-sekte agama Buddha, namun semuanya memiliki landasan-landasan pokok tersebut. Landasan-landasan pokok yang sama ini adalah pengertian-pengertian yang minimal terdapat dalam semua mahzab dan sekte agama Buddha; yaitu :
      1. Tiratana
      2. Tilakkhana
      3. Cattâri Ariya Saccâni
      4. Kamma dan Punabbhava
      5. Paticcasamuppâda
      6. Nibbâna

      1. Tiratana (Tiga Permata)
      Pengertian mengenai Tiratana telah diuraikan secara khusus dalam bagian "Keyakinan dalam agama Buddha", yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

      2. Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
      a. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak kekal (sabbe sankhârâ aniccâ)
      b. Segala sesuaru yang terbentuk dan bersyarat tercengkram oleh dukkha (sabbe sankhârâ dukkhâ)
      c. Segala sesuatu adalah tanpa 'diri', tidak memiliki inti yang tetap atau pribadi yang kekal (sabbe dhammâ anattâ)

      Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat(conditioned), baik jasad organik maupun inorganik, unsur-unsur jasmani maupun batin(perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran), di dalam maupun di luar individu, semuanya bersifat tidak kekal dan selalu berubah(aniccâ).

      Segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan selalu berubah itu dengan sendirinya tidak dapat memberikan kepuasan yang sempurna, atau dengan kata lain, terkena dukkha(dukkhâ).

      Akhirnya terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan terkena dukkha ini tidak dapat dikatakan: "ini aku", "ini milikku", "ini diriku". Dengan kata lain, menurut kenyataan yang terakhir sesungguhnya tidak terdapat suatu "aku" atau "diri" atau "inti", baik di dalam maupun di luar segala sesuatu yang sifatnya terbentuk dan bersyarat(conditioned) ini. Segala sesuatu sebenarnya adavlah 'bukan aku'(anattâ).

      Kata-kata "aku" hanyalah dipergunakan dalam pengertian sehari-hari dalam artian umum untuk membeda-bedakan satu dengan lain individu. Dengan demikian, mengingat bahwa segala bentuk dan unsur kehidupan adalah bersyarat dan tidak kekal, maka setiap bentuk kepercayaan tentang "diri" yang kekal(attâ ditthi) adalh suatu kesesatan atau khayalan(micchâ ditthi), yang bersumber pada kecenderungan yang kuat dan berakar dalam untuk mempertahankan diri, akibat kekhawatiran melepaskan segala-galanya, termasuk "aku"-nya yang sebenarnya hanyalah angan-angan belaka.

      Untuk menembus kesunyataan yang dahsyat, yang menjadi ciri khas agam Buddha ini, diperlukan latihan dalam sila, samâdhi dan pañña(kebijaksanaan) yang tekun dan sungguh-sungguh.

      3. Cattari Ariya Saccâni(Empat Kesunyataan Mulia)
      Dalam kotbah-Nya yang pertama di Taman Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Mulia, yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma. Empat Kesunyataan Mulia tersebut adalah :

      a. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha (dukkha ariyasacca)
      Kata 'Dukkha' di sini yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.

      Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :

      "Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh-kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Dengan ringkas, jasmani dan batin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".

      Banyak orang salah mengerti terhadap ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia dari sudut negatif. Karena itu di sini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (yathâbhûtam ñânadassanam).

      Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengakui adanya berbagai bantuk 'kebahagiaan', material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (aniccâ dukkhâ viparinâmadhammâ); dukkha bukan merupakan 'penderitaan' dalam arti umum, tetapi karena 'segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha' (yad anicam tam dukkham).

      Karenanya, dukkha di sini mempunyai tiga pengertian :
      1. Dukkha sebagai penderitaan yang umum (dukkha dukkha)
      2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan (viparinâma dukkha)
      3. Dukkha sebagai keadaan-keadaan yang bersyarat (sankhârâ dukkha)

      b. Kesunyataan Mulia tentang Sebab-Musabab Dukkha (dukkhasamudaya ariya sacca) Sebab-musabab dukkha ialah 'kehausan' (tanhâ), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa nafsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandîrâgasahagatâ tatratatrâbhinandinî); yang terdiri atas :
      1. Kehausan akan kenukmatan-kenikmatan indria (kâma tanhâ)
      2. Kehausan akan kelangsungan atau perwujudan (bhava tanhâ)
      3. Kehausan akan pemusnahan (vibhava tanhâ)

      Setiap orang mengakui bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana tanhâ ini dapat mengakibatkan 'kelahiran berulang-ulang' (ponobhavikâ) bukanlah dengan mudah dapat dimengerti. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia kedua yang berhubungan dengan Kesunyataan Mulia pertama.

      Terdapat empat macam 'makanan' (âhâra) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk :
      - makanan material (kabalinkârâhâra)
      - kontak dari enam indria kita dengan dunia luar (phassâhâra)
      - kesadaran (viññânâhâra)
      - kehendak batin atau keinginan (manosañcetanâhâra)

      Âhâra Keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali, untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (kusala-akusala kamma).

      c. Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha (dukkhanirodha ariyasacca)
      Lenyapnya dukkha (tercapai dengan) berakhirnya sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, terbebas dari, tidak terdapatnya kehausan (tanhâ) ini; atau dengan kata lain : tercapainya Nibbâna. Keterangan mengenai Nibbâna dapat dilihat pada bab ini nomor enam.

      d. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkhanirodha gâminî patipadâ ariyasacca)
      Jalan untuk menuju lenyapnya dukkha ialah 'Jalan Berunsur Delapan' (ariya atthangika magga). Delapan Jalan Utama ini dikenal jugan sebagai 'Jalan Tengah' (majjhima patipadâ). oleh karena 'Jalan' ini menghindari dan berada di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu: pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri; dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir di tengah tengah yang menghindari kedua kutub pandangan, yaitu pandangan tentang 'kekekalan' (eternalisme, sassata-ditthi) dan 'kemusnahan' (nihilisme, ucchedda ditthi).

      Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsur-unsur berikut : mulia dan tidak mulia (ariya-anariya), baik dan buruk (kusala-akusala), berguna dan tidak berguna (attha-anattha), benar dan salah (dhamma-adhamma), tercela dan tidak tercela (sâvajja-anâvajja), jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang gelap (tapaniya-anatapaniya) dan sebagainya (Anguttara Nikâya V, 274-285)

      Perlu ditekankan bahwa Jalan Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Jalan Berunsur Delapan ini sebenarnya adalah "satu jalan" yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, kedelapan unsur itu harus dilaksanakan secara serentak dan selaras, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Jalan Berunsur Delapan tersebut terdiri atas :

      1. Pandangan Benar (sammâ-ditthi)
      Pandangan Benar ialah pengertian terhadap segala sesuatu dan peristiwa menurut hakekat yang sebenarnya; penembusan ke dalam Empat Kesunyataan Mulia. Dengan kata lain, langkah yang pertama sekali pada jalan itu dimulai dengan memperoleh suatu pengertian yang jelas terhadap prinsip pokok Buddha Dhamma tentang 'sifat saling bergantungan yang universal'.

      2. Pikiran Benar (sammâ-sankappa)
      Pikiran Benar ialah pikiran yang bebas dari hawa nafsu (râga), kemauan buruk (byâpâda), kekejaman (vihimsa) dan semacamnya; yang diwujudkan dalam bentuk cinta kasih terhadap semua mahluk. Dengan memiliki pikiran benar ini seseorang dapat membebaskan dirinya dari semua pikiran mementingkan diri sendiri, kemauan buruk, kebencian dan kekerasan dalam semua lingkungan hidup, baik individuil maupun sosial.

      3. Ucapan Benar (sammâ-vâcâ)
      Ucapan Benar mencerminkan tekad untuk menahan diri dari berbohong (musâvâdâ); memfitnah (pisunâvâcâ) yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, perpecahan dan ketidakrukunan antara individu-individu atau golongan-golongan; ucapan kasar, pedas, tidak sopan, jahat dan caci maki (pharusavâcâ); percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat, sia-sia serta pergunjingan (samphappalâpâ). Sebaliknya, ia adalah "seorang pembicara benar, manusia yang benar, dapat dipercaya, dapat diandalkan, bukan penipu dunia. . . Bila telah mendengar sesuatu di sini, ia tidak akan menyampaikannya di tempat lain untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sini, atau, setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia tidak akan menyampaikannya di sini untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sana . . . kerukunan merupakan kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaannya; kerukunan adalah tujuan pembicaraannya . . . Ia bisa mengucapkan kata-kata yang lembut, enak didengar, menyenangkan, menarik hati, sopan santun dan damai kepada banyak orang . . . Ia adalah seorang yang berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, tentang kebajikan, tentang Dhamma dan tentang Vinaya. Ia mengucapkan kata-kata yang bernilai . . ." (Majjhima Nikâya, I. 345).

      4. Perbuatan Benar (sammâ-kammanta)
      Perbuatan Benar berarti mengembangkan kelakuan bermoral, mulia dan damai, yang dapat diwujudkan dengan melaksanakan Pañcasila Buddhis dalam aspek negatif dan posotifnya; yaitu tidak melakukan pembunuhan, melainkan mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua mahluk; tidak melakukan pencurian, melainkan melaksanakan kemurahan hati dan kedermawanan; tidak melakukan perbuatan-perbutatan kelamin yang salah, melainkan melaksanakan kesucian dan pengendalian diri; tidak mengumbar ucapan-ucapan bohong, melainkan melaksanakan kejujuran dan kesetiaan; tidak minum minuman yang memabukkan, atau obat-obat bius, melainkan meningkatkan kewaspadaan.

      5. Penghidupan Benar (sammâ-âjîva)
      Penghidupan Benar berarti menghindarkan diri dari memperoleh mata pencaharian yang menyebabkan kerugian orang lain. Penipuan, penghianatan, tipu muslihat dan pemerasan seharusnya tidak dilakukan. Lima bentuk perdagangan yang seharusnya dihindari, yaitu: memperdagangkan senjata, mahluk hidup, daging, minum-minuman keras (termasuk obat-obat bius) dan racun (Anguttara Nikâya, III. 153)

      6. Usaha Benar (sammâ-vâyâma)
      Usaha Benar mempunyai dua segi. Dalam segi negatifnya adalah suatu kemauan yang kuat untuk mencegah timbulnya keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam batin. Dalam segi positifnya adalah suatu kemauan yang kuat untuk menumbuhkan dan mengembangkan keadaan-keadaan batin baik dan sehat yang belum ada, dan meningkatkan serta menyempurnakan keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam batin. Dengan dua seginya yang telah dituliskan di atas, Usaha Benar terdiri atas empat macam : usaha untuk menahan diri, usaha untuk meninggalkan, usaha untuk membangun dan usaha untuk memelihara (Anguttara Nikâya, II.83).

      7. Perhatian Benar (sammâ-sati)
      Perhatian Benar berarti melatih diri agar benar-benar sadar, penuh perhatian dan waspada terhadap kegiatan-kegiatan tubuh (kâya), perasaan-perasaan indera (vedanâ), kegiatan-kegiatan pikiran (citta), dan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan semua gejala batin (dhamma).

      8. Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi)
      Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran yang ditujukan pada obyak yang baik, sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut : "Bebas dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam Jhâna pertama, di mama vitakka (penempatan pikiran pada obyek) dan vicâra (mempertahankan pikiran pada obyek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran dan kebahagiaan (pîti dan sukha). Dengan menghilangkan vitakka dan vicâra, ia memasuki dan berdiam dalam Jhâna kedua, yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicâra, memiliki kegiuran (pîti) dan kebahagiaan (sukha) yang timbul dari samâdhi. Dengan memasuki serta berdiam dalam Jhâna ketiga, ia meninggalkan kegiuran, hanya berdiam dalam ketenangan, penuh perhatian, benar-benar sadar, dan ia merasakan tubuhnya dalam keadaan nikmat. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, meninggalkan pikiran gembira dan sedih, ia memasuki dan berdiam dalam Jhâna keempat, keadaan yang benar-benar seimbang dan penuh perhatian murni, di mana kebahagiaan dan kesedihan tidak dapat menyentuh batinnya".

      Hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah delapan unsur dari Jalan Tengah seperti yang diterangkan dalam Kitab Suci Tipitaka (pâli). Agama Buddha menganggap Jalan Berunsur Delapan ini sebagi satu-satunya jalan untuk menuju lenyapnya dukkha- Nibbâna. Mengenai Jalan Berunsur Delapan ini Sang Buddha Gotama bersabda :

      "O..para bhikkhu, apabila dibandingkan dengan hal-hal lain yang bersyarat (sankhata dhamma), Jalan Berunsur Delapan adalah yang terbaik di antara mereka. Barangsiapa yakin terhadapnya, ia memiliki keyakinan dalam hal yang terbaik; dan barangsiapa memiliki keyakinan dalam hal trbaik, akan memperoleh hasil yang terbaik" (Anguttara Nikâya, II. 44).

      4) Kamma dan Punabbhava (Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir)

      Kamma (Pâli) atau Karma (Sansekerta) artinya 'perbuatan'. Hukum kamma menempati kedudukan yang penting dan merupakan salah satu landasan pokok agama Buddha. Agama Buddha memandang hukum kamma sebagai hukum semesta tentang sebab akibat dan sebagai hukum moral, yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari satu hukum yang sama.

      Dalam aspeknya sebagai hukum semesta tentang sebab akibat, hukum ini menerangkan bahwa segala sesuatu yang timbul, baik jasad organik maupun inorganik, pasti mempunyai sebab-sebab; atau dengan kata lain, tiada sesuatu yang timbul tanpa sebab sebelumnya. Rumusan 'Hukum Sebab Musabab yang saling Bergantungan' berbunyi sebagi berikut :

      "Imasmim sati idam hoti; imassuppâdâ idam uppajjati.
      "Imasmim asati idam na hoti; imassa nirodhâ imam nirujjhati".
      "Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu.
      Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu".

      Agama Buddha mempergunakan hukum ini untuk menerangkan hakekat dari segenap alam semesta. Akan tetapi, hukum kamma dalam aspeknya sebagai hukum semesta hanyalah merupakan suatu turunan dari pengertiannya sebagai hukum sebab dan akibat. Nilai penting yang sesungguhnya dari hukum kamma terletak pada aspeknya yang kedua, yaitu sebagai hukum moral. Dengan aspeknya yang kedua ini, hukum kamma memberikan peranan yang penting dalam ajaran-ajaran Buddhis tentang etika, yang seringkali ditekankan oleh Sang Buddha.

      Ajaran Buddhis tentang kamma sebagai hukum moral, adalah mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang melalui badan jasmani (kâya-kamma), ucapan (vâcî-kamma) dan pikiran (mano-kamma). Ketiga macam perbuatan ini untuk dapat disebut kamma, harus selalu disertai dengan 'kehendak batin' (cetanâ). Dalam pandangan Buddhis, suatu perbuatan tanpa disertai kehendak tidak dapat disebut kamma, karena perbuatan itu tidak dapat memberikan akibat moral apapun pada pelakunya. Sang Buddha bersabda : "O para bhikkhu, kehendak itulah yang Kusebut kamma. Seseorang, setelah timbul kehendak dalam batinnya, melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran ...." (Cetanâ'ham bhikkhave kammam vadâmi. Cetayitvâ kammam karoti kâyena vâcâya manasa ....." Anguttara Nikâya, III. 415).

      Pengetahuan atau pengertian mengenai hukum kamma itu sendiri tidak akan lengkap apabila tidak dipelajari dalam hubungan dengan akibat-akibatnya (phala). Dalam Kitab Suci Tipitaka (Pâli) terdapat suatu pernyatan yang memperlihatkan keyakinan umat Buddha terhadap hukum kamma. Pernyataan tersebut berbunyi :

      "Yâdisam labhate bîjam tâdisam labhate phalam
      Kalyânakârî ca kalyânam pâpakârî ca pâpakam"

      "Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan, dan ia yang berbuat jahat akan menerima kejahatan". (Samyutta Nikâya, 1.293)

      Dalam hubungan dengan akibat-akibatnya, hukum kamma dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
      1. Kamma menurut waktu
      2. Kamma menurut kekuatan
      3. Kamma menurut fungsi

      1. Kamma menurut waktu :
      Di sini, kamma dihubungkan dengan unsur waktu dalam menghasilkan akibatnya, yang terdiri atas empat macam, yaitu :
      a. Ditthadhammavedanîya-kamma, adalah kamma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini juga.
      b. Uppajjavedanîya-kamma, adalah kamma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini.
      c. Aparâparavedanîya-kamma, adalah kamma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan-kehidupan berikutnya.
      d. Ahosi-kamma, adalah kamma yang memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis atau karena kamma itu telah menghasilkan akibatnya secara penuh.

      2. Kamma menurut kekuatan :
      Di sini, kamma dihubungkan dengan tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat, yang terdiri atas empat macam, yaitu :
      a. Garu-kamma, adalah kamma yang paling berat di antara semua kamma lainnya, dan karena sifatnya yang kuat, kamma ini akan masak terlebih dahulu. Selama kamma ini masih menghasilkan akibatnya, tak ada kamma lainnya yang berkesempatan untuk masak.
      b. Bahula-kamma, adalah kamma yang sering dan berulang-ulang dilakukan oleh seseorang melalui jasmani, ucapan dan pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya. Karenanya, kamma-kebiasaan ini akan memberikan hasilnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu-kamma.
      c. Âsanna-kamma, adalah kamma yang diperbuat oleh seseorang pada saat ia menghadapi kematian. Âsanna-kamma ini dapat berupa perbuatan baru yang dilakukan oleh seseorang melalui pikiran pada saat ia menghadapi kematian, atau dapat pula berupa perbuatan-perbuatan apapun yang dahulu pernah dilakukan dalam masa hidupnya yang ia ingat kembali dangan amat jelas pada saat ia menghadapi kematiannya. Menurut agama Buddha, âsanna-kamma ini memegang peranan utama dalam menentukan kehidupan selanjutnya dari orang yang sedang mangalami kematiannya.
      d. Katattâ-kamma, adalah suatu perbuatan yang hampir tidak didorong oleh kehendak. Kamma ini sebenarnya lebih bersifat mekanis daripada bersifat kehendak. Karenanya, kamma ini digolongkan sebagai kamma yang paling lemah di antara semua kamma, yang akan memberikan hasilnya apabila kamma lainnya tidak ada.

      3. Kamma menurut fungsinya :
      Di sini, kamma dihubungkan dengan peranan dalam menghasilkan akibat, yang juga terdiri atas empat macam :
      a. Janaka-kamma (kamma penyebab), adalah kamma yang berfungsi menghasilkan. Tugas kamma ini adalah menyebabkan kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya. Seseorang dilahirkan dalam keadaan menderita atau bahagia adalah semata-mata ditentukan oleh janaka-kamma. Manurut agama Buddha, apabila janaka-kamma telah menyebabkan suatu kelahiran, maka tugasnya telah selesai.
      b. Upatthambhaka-kamma (kamma penguat), adalah kamma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang dihasilkan oleh janaka kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka kammanya baik, kamma-penguat ini membantu sehingga keadaannya menjadi lebih baik; demikian pula dalam hal sebaliknya.
      c. Uppapîlika-kamma (kamma pelemah), adalah kamma yang berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam menghasilkan buahnya.
      d. Upâghataka-kamma (kamma penghancur), adalah kamma yang mempunyai kategori sama dengan kamma pelemah di atas, karena fungsinya menentang atau menghancurkan kekuatan dari janaka-kamma. Akan tetapi, kamma ini lebih kuat dari kamma pelemah.

      Bagi umat Buddha, keyakinan terhadap hukum kamma berarti yakin terhadap kemampuan-kemampuan diri sendiri dalam menentukan 'nasib' sendiri. Keadaan-keadaan hidup yang sekarang dan yang akan datang tergantung pada apa yang telah dilakukan di waktu yang lalu dan apa yang sedang dikerjakan pada masa sekarang. Keyakinan terhadap hukum kamma akan memberikan beberapa manfaat :

      1. Menjaga agar kita tidak terjerat ke dalam pendangan nihilistis dan materialistis, yang mengingkari berlakunya nilai-nila moral.
      2. Membuat kita percaya pada kemampuan diri sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupan kita menjadi lebih baik; dan mencegah kita menjadi putus asa atau bersikap pasrah pada 'nasib'.
      3. Memperkuat pengendalian diri untuk tidak melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun, atas dasar pengertian bahwa kita pasti akan memetik hasil dari perbuatan kita sendiri.

      5) Paticcasamuppâda (Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan)

      Dalam Kitab Suci Tipitaka (Pâli) banyak dituliskan saat-saat ketika petapa Gotama berhasil memahami Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan, sehingga akhirnya Beliau berhasil mencapai Penerangan Sempurna (Sammâsambuddha). Akan tetapi hal yang terpenting adalah proses pemahaman 'hukum' itu sendiri yang terjadi sesaat sebelum pencapaian Penerangan Sempurna. Para Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna mereka melalui proses ini.

      Kata 'Paticcasamuppâda' mempunyai arti : "Sebab Musabab yang Saling Bergantungan", atau "timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan".

      Sang Buddha menerangkan hukum ini dalam suatu rangkaian yang terdiri atas dua belas mata rantai, yaitu kondisi-kondisi dan sebab musabab yang saling bergantungan dari penderitaan manusia serta pengakhirannya. Rumusan keseluruhan hukum itu telah diringkaskan sebagai berikut :

      "Imasmim sati idam hoti; imasuppâdâ idam uppajjati.
      Imasmim asati idam na hoti; imassa nirodhâ imam nirujjhati".

      "Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu". (Majjhima Nikâya, II. 32)

      Dengan memahami seluruh fenomena kehidupan (samsara) ini, agama Buddha memandangnya sebagai suatu lingkaran (bhavacakka), yang tak dapat diketahui permulaan dan akhirnya. Dengan demikian masalah 'sebab pertama' (causa prima) bukan menjadi masalah dalam filsafat agama Buddha.

      "Tidak dapat dipikirkan akhir roda kelahiran kembali (samsara); tidak dapat dipikirkan asal mula mahluk-mahluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh kehausan (tanhâ) mengembara kesana kemari ". (Samyutta Nikâya, II.178 - 193).

      Sehubungan dengan masalah asal mula dan sebab pertama (causa prima) ini, Sang Buddha mengajarkan bahwa asal mula alam semesta (samsara) tidak dapat dipikirkan. Alam semesta ini bergerak menurut proses pembentukan (samvattana) dan penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus.

      Di pihak lain dalam Paticcasamuppada itu diperlihatkan pula berhentinya segala rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dengan berhentinya syarat-syarat yang mendahuluinya. Berhentinya rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dapat dicapai oleh mereka yang telah memiliki Pandangan Terang (Kebijaksanaan Sempurna).

      6) Nibbâna (Kebahagiaan Tertinggi).

      Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbâna. Banyak buku yang menyajikan uraian tentang Nibbâna telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbâna bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula tidak mungkin dapat memberi pengertian tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri.

      Nibbâna adalah suatu 'keadaan', seperti diajarkan oleh Sang Buddha; Nibbâna adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbâna adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, kekotoran batin. Dengan demikian, nibbâna adalah Kesunyataan Abadi tanpa kelahiran kembali, tanpa perubahan dan tanpa kematian. Keadaan ini sulit untuk dibabarkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenali jika keadaan terang diketahui. Nibbâna dapat dialami jika lenyapnya dukkha dan Jalan untuk melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.

      Sedih dan gembira adalah nilai subyaktif yang timbul dari pikiran orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi. Karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nilai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi "aku" yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbâna. Jika khayalan "aku" telah terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan "Nibbânam paramam sukham", "Nibbâna kebahagiaan tertinggi", bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosionil, melainkan pembebasan mutlak dari segala bantuk ikatan indria dan keinginan (tanhâ).

      Pengertian Nibbâna yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses menjadi (dumadi).

      Dalam Milinda Pañha (Kitab berisi percakapan anatara bhikkhu Nagasena dan Raja Yunani, Menander) dikatakan : "Nibbâna penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barangsiapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaannya (pañña), sebagaimana seorang siswa, yang dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri".

      "Jikalau anda bertanya, "bagaimana Nibbâna dapat diketahui", hal itu dapat diketahui melalui pembebasan dari ketegangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, kesucian".

      "Sebagaimana seseorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui usahanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dan mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur; begitu pula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi sengguh-sungguh, menyelami kebahagiaan tertinggi - Nibbâna - setelah panas yang membakar dari tiga api (kesarakahan, kebencian dan ketidaktahuan) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas, sebagaimana orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri, menggambarkan dirinya yang menempuh kehidupan dengan benar, dan sebagaimana tempat sejuk itu menggambarkan arti Nibbâna".

      "Apakah Nibbâna itu suatu tempat?", tanya Raja Milinda. "Nibbâna bukanlah suatu tempat, O Raja, tetapi Nibbâna itu ada, sebagaimana nyala api itu ada meskipun api itu tidak disimpan di suatu tempat tertentu". "Apakah tiada tempat berpijak bagi seseorang untuk mencapai Nibbâna?" "Ya, O Raja, ada tempat seperti itu. Tempat itu adalah kebajikan".

      Mereka yang mencapai Nibbâna tidak lagi menaruh perhatian terhadap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun kamma baru, melainkan sekedar menghabiskan akibat kamma lampaunya.

      Sang Buddha pernah ditanya apakah seorang Buddha, sesudah mencapai Parinibbâna, ada atau tidak ada. Sang Buddha diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai kesalahpahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham "Aku" masih melekat mustahil Nibbâna dapat tercapai.

      Siswa terdekat Sang Buddha, Yang Ariya Ânanda, untuk waktu yang lama gagal mencapai Nibbâna karena Beliau berpikir : "Aku harus mencapai Nibbâna aku harus menembus Nibbâna". Begitu keinginan mencapai Nibbâna lenyap, Nibbâna dapat ditembusnya.

      Bagi umat Buddha, Nibbâna adalah ciri-ciri yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang ataupun yang akan datang. Yang jelas, diperlukan tekad kuat (adhitthâna) untuk mengikuti Jalan yang ditunjukkan oleh Sang Guru.

Tuesday, July 27, 2010

Hukum Karma Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo MahaThera



Hukum Karma
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo MahaThera


Dalam kegiatan sehari-hari kita sering mendengar kata "Karma". Panggunaan kata "Karma" ini pada umumnya ditujukan untuk manggambarkan hal-hal yang tidak baik; karma selalu dihubungkan dengan karma buruk. Padahal sebetulnya karma bukan hanya karma buruk tetapi juga ada karma baik. Selain sebagai karma buruk, konsep karma juga sering diidentikkan sebagai satu-satunya penyebab kejadian. Kita menganggap setiap keadaan buruk selalu disebabkan oleh karma, semuanya tergantung pada karma. Konsep yang demikian ini dapat berakibat menurunkan semangat juang atau semangat hidup kita. Padahal karma bukan satu-satunya penyebab kejadian, melainkan hanya salah satunya; masih terdapat banyak faktor yang ikut menentukan dan menyebabkan karma berbuah. Konsep yang menganggap bahwa karma selalu karma buruk dan sebagai satu-satunya penyebab kejadian ini dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang salah dan merupakan kelemahan terhadap penjelasan hukum karma.

Apakah sesungguhnya karma itu? Karma adalah niat untuk melakukan perbuatan. Niat itulah yang disebut dengan karma! Perbuatan yang dilakukan dengan pikiran disebut karma melalui pikiran; perbuatan yang dilakukan dengan ucapan disebut karma melalui ucapan; dan perbuatan yang dilakukan dengan badan disebut karma melalui badan. Dengan demikian karma bisa berupa karma baik dan karma buruk.

Kemudian timbul satu pertanyaan, apakah yang disebut hukum karma? Hukum karma sebetulnya adalah hukum sebab dan akibat. Di dalam Samyutta Nikaya dinyatakan:

"Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Mereka yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan."

Kalau kita melihat dengan kacamata duniawi, pernyataan Dhammapada tersebut tampak bertolak belakang dengan fenomena yang ada. Kita sering menemukan orang yang banyak melakukan kebajikan tetapi masih mengalami penderitaan, dan sebaliknya. Mengapa demikian? Apakah hukum karma-nya keliru? Sebetulnya tidak keliru! Kalau hukum karma diumpamakan sebagai sebuah sawah yang mempunyai tanaman padi dan jagung, di mana tanaman padi dan jagung tersebut mempunyai usia panen yang berbeda, maka tanaman jagung tentu akan panen terlebih dahulu daripada tanaman padi. Demikian pula perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai/dipanen. Dalam hal ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya, walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu.

Selanjutnya bagaimanakah karma kalau dilihat menurut waktunya? Menurut waktunya, karma dapat kita bedakan menjadi 4 (empat) kelompok, sebagai berikut:

a). Karma yang langsung berbuah
Misalnya kita mencuri helm milik orang lain, karena helm kita dicuri seseorang. Supaya tidak ketahuan, kita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi walaupun lampu lalu lintas berwarna merah. Akhirnya kita ditangkap polisi. Terpaksa kita harus membayar tilang Rp 15.000,- (padahal harga sebuah helm hanya Rp 10.000,-). Ini adalah karma yang langsung berbuah.

b). Karma yang berbuah agak lama tetapi masih dalam satu kehidupan. Misalnya orang yang melakukan meditasi hingga tingkat jhana yang tinggi sekali, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma.

c). Karma yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Misalnya orang yang sering mendengarkan Dhamma pasti akan terlahir di alam sorga dalam kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Mengapa demikian? Dengan mendengarkan Dhamma berarti kita melatih dana perhatian. Pikiran, ucapan dan perbuatan kita terjaga dengan baik pada saat itu. Kita bisa mengerti dan melaksanakan Dhamma. Bahkan hal ini amat sesuai dengan salah satu sutta Sang Buddha, bahwa mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat adalah berkah utama.

d). Karma yang tidak sempat berbuah karena kehabisan waktu atau kehilangan kesempatan untuk berbuah. Sering ada orang yang mengatakan bahwa tercapainya Nibbana apabila karma baik dan buruk telah habis. Padahal karma itu tidak mungkin habis karena jumlahnya tidak terbatas. Tetapi karma bisa dipotong! Kita bisa merasakan karma apabila kita mempunyai badan dan batin, artinya kita dilahirkan. Kalau kita tidak dilahirkan kembali, kesempatan untuk merasakan karma baik dan buruk menjadi tidak ada. Akhirnya ada karma yang tidak sempat berbuah.

Selain menurut waktu, karma juga dapat dibedakan menurut fungsinya, yaitu:

a). Fungsi karma yang melahirkan
Misalnya: ada orang yang dilahirkan dalam kondisi mempunyai banyak penyakit. Kenapa terjadi demikian? Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian pula buah yang dituainya; karena ada penyiksaan maka bisa terlahir sakit-sakitan.

b). Fungsi karma yang mendukung
Karma ini mendukung fungsi karma yang melahirkan. Misalnya; selain terlahir di keluarga yang miskin, dia juga terlahir dalam keadaan cacat. Ini adalah karma yang mendukung.

c). Fungsi karma yang mengurangi
Fungsi karma yang mengurangi ini berhubungan dengan perbuatan kita saat ini. Misalnya; meskipun miskin dan cacat, orang tersebut mempunyai sila yang baik.

d). Fungsi karma yang memotong
Karena silanya baik, ucapannya baik, tingkah lakunya baik, maka ada orang yang simpati kepadanya. Orang tersebut diberi pekerjaan yang sesuai dengan keadaannya. Ini adalah karma yang memotong, artinya bertentangan dengan yang sedang terjadi. Karma juga berhubungan dengan perbuatan saat ini. Apa yang terjadi pada saat ini, itulah yang menentukan karma kita. Jadi karma bukanlah nasib! Karma masih bisa diperbaiki dan diubah dengan melihat fungsi karma karena karma adalah niat berbuat. Perbuatan itulah yang paling penting!

Selanjutnya karma juga dapat dikelompokkan menurut bobotnya yaitu:

a). Bobot karma super berat
Karma super berat yang baik misalnya; orang yang mencapai jhana, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma; atau memperoleh pañña yang berarti tercapainya Nibbana. Sedangkan super berat yang buruk ada 5 (lima) yaitu membunuh ayah, membunuh ibu, membunuh seorang Arahat, melukai Sammasambuddha, dan memecah belah Sangha. Apabila salah satunya dilakukan maka setelah meninggal orang tersebut langsung terlahir di alam neraka.

b). Karma yang muncul pada saat kematian
Di dalam pikiran akan terjadi satu seleksi pada saat proses kematian yaitu mengingat perbuatan yang pernah berkesan di dalam diri kita. Misalnya; sebelum meninggal, seseorang teringat bahwa dia sering mendengarkan Dhamma, sering bertemu bhikkhu-bhikkhu dan meninggal dalam keadaan bahagia maka orang tersebut akan terlahir di alam bahagia. Sebaliknya kalau kesannya tidak baik, orang tersebut dapat terlahir di alam menderita.

Sehubungan dengan proses kematian ini, Sang Buddha menyatakan bahwa apabila kita bisa melihat 4 (empat) tempat suci di India yaitu tempat Sang Buddha dilahirkan, mencapai kesucian, membabarkan Dhamma, dan wafat-Nya maka ketika meninggal, pikiran kita diliputi kebahagiaan. Kita bisa terlahir di alam bahagia. Inilah sebabnya mengapa kalau ada yang mau meninggal diadakan sembahyangan. Tujuannya supaya orang tersebut mengingat perbuatan-perbuatan baik yang pernah dilakukannya sehingga dapat terlahir di alam bahagia. Dengan demikian sesungguhnya manfaat berpikir positif pada saat kematian adalah paling penting karena kalau kita berpikir positif pada kematian, kita akan terlahir di alam bahagia.

c). Kalau di dalam proses kematian itu tidak ada yang berkesan atau tidak sempat terpikir, misalnya karena meninggal dalam keadaan koma maka yang berbuah adalah kebiasaannya. Umpamanya orang yang mempunyai kebiasaan latah maka seandainya setelah meninggal terlahir menjadi manusia, dia akan menjadi orang yang suka humor.

d). Bobot yang super ringan atau kecil
Apabila karma yang super berat, karma pada saat kematian, dan karma kebiasaan tidak muncul maka karma yang super ringan yang akan berbuah. Misalnya; pada suatu waktu kita melihat ada paku payung di jalan lalu kita singkirkan supaya tidak mencelakakan orang lain. Ini adalah bobot yang super ringan. Apabila bobot yang super ringan ini muncul pada saat kematian dan kita merasa bahagia karena bisa menolong orang lain maka kita akan terlahir di alam bahagia.

Dengan demikian, karma sebetulnya terdiri atas 12 (dua belas) jenis. Masing-masing dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu menurut waktu, fungsi dan bobot, dimana setiap kelompok karma dibagi menjadi 4 (empat) bagian. Tetapi 12 (dua belas) jenis karma ini tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu segala sesuatunya belum tentu disebabkan oleh karma.

[ Dikutip dari Samaggi-Phala WWW.Samaggi-Phala.or.id ]