Thursday, September 2, 2010

Kiat Sukses Bisnis Dalam Era Globalisasi


Kiat Sukses Bisnis Dalam Era Globalisasi

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera


PENDAHULUAN

Globalisasi di berbagai bidang dengan segala dampak positif dan negatifnya telah banyak dibahas secara umum maupun khusus dalam berbagai forum pertemuan oleh banyak fihak. Menyadari akan hal tersebut, maka dalam keterbatasan makalah ini fenomena itu tidak akan dibicarakan secara rinci. Hanya saja, berkenaan dengan era globalisasi tersebut banyak orang menduga bahwa dengan majunya jaman maka agama akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Dugaan ini sudah berkembang cukup lama, namun ternyata hal ini tidaklah selalu benar, minimal bila kita berbicara tentang agama Buddha. Hal ini juga telah diakui oleh ahli teologi Harvey Cox yang menjadi dosen senior di Harvard University. Beliau menyatakan bahwa gejala ini tidak diduga oleh para peramal 25 tahun yang lalu yang meramalkan bahwa agama semakin layu karena modernitas. Pernyataan tersebut telah dikutip John Naisbitt dalam Megatrends 2000 halaman 255.

Ajaran Sang Buddha yang dibabarkan hampir 3000 tahun yang lalu di India oleh Sang Buddha Gotama ternyata dapat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman. Ajaran Sang Buddha yang kita maksudkan di sini bukanlah bentuk-bentuk upacara ritual yang sesungguhnya hanyalah bagian dari tradisi belaka. Ajaran Sang Buddha atau sering disebut dengan BUDDHA DHAMMA adalah ajaran yang mengantar setiap orang yang melaksanakannya agar dapat hidup bahagia di dunia, terlahir di salah satu dari dua puluh enam jenis sorga setelah kematiannya dan jika usahanya berhasil maka ia pun akan dapat mencapai tujuan akhir semua umat Buddha yaitu Nibbana atau Nirwana atau Tuhan Yang Mahaesa di dunia ini maupun setelah kematiannya.

Dalam menghadapi berbagai tantangan pada era globalisasi ini, khususnya di bidang ekonomi, banyak ekonom dunia berpendapat bahwa sesungguhnya dalam Buddha Dhamma kita akan dapat menemukan jawabannya. Salah seorang ekonom kelahiran Jerman yang lebih dikenal sebagai bapak perintis gagasan teknologi madya, pendiri dan ketua Intermediate Technology Development Group di London, Dr. E.F. Schumacher, mengungkapkan dalam bukunya Kecil Itu Indah hal. 51 bahwa:

"Penghidupan yang benar" adalah salah satu dari delapan jalan utama di dalam Agama Buddha. Karena itu jelas bahwa ilmu ekonomi agama Buddha pasti ada.

Konsep ilmu ekonomi agama Buddha (Buddhism Economics) ini telah dilontarkannya pertama kali pada sebuah ceramah di London pada bulan Agustus 1968. (Warta Ekonomi, hal. 23)

Makalah ini disusun dan disajikan secara sederhana berdasarkan beberapa nasehat yang telah diuraikan oleh Sang Buddha. Isi tulisan ini diharapkan akan menjadi salah satu alternatif kita bisnis yang mungkin dapat diterapkan dalam menejemen perusahaan masing-masing dengan penyesuaian seperlunya agar dapat mewujudkan keberhasilan sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai.


PEMBAHASAN

Telah diuraikan di atas bahwa salah satu tujuan Agama Buddha adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia, maka agar lebih tegas memahami arah pencapaian kebahagiaan duniawi itu disebutkan dalam Anguttara Nikaya II, 65 bahwa terdapat empat keinginan wajar seorang manusia yang dapat dicapai yaitu:

1. Keinginan agar dapat menjadi KAYA dan kekayaan yang terkumpul diperoleh dengan cara yang benar dan pantas.

2. Keinginan agar kita beserta sanak keluarga dan kerabat dapat mencapai KEDUDUKAN SOSIAL yang tinggi.

3. Keinginan agar memperoleh USIA PANJANG.

4. Keinginan untuk terlahir di (salah satu dari 26 tingkat) SORGA setelah kehidupan ini dengan memanfaatkan sebaik-baiknya ketiga pancapaian sebelumnya.

Dengan demikian jelas bahwa bisnis di dalam Agama Buddha sangat didukung bahkan dapat dikatakan memperoleh prioritas. Sukses adalah harapan semua orang asalkan cara yang dipakai tidak menyalahi aturan kemoralan dan hukum negara.

Sebagian orang berpendapat bahwa kesuksesan adalah faktor kemujuran atau karma baik saja, hal ini jelas tidak benar seluruhnya. Ilmu sukses halaman 3, dikatakan bahwa jika sukses ditentukan oleh nasib mujur belaka maka tidak banyak gunanya kita membaca buku tentang orang sukses kecuali hanya untuk mengagumi nasib mujur yang mereka dapatkan. Alex S. Nitisemito dalam tulisannya mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mendukung kesuksesan seseorang diantaranya ialah mempunyai jiwa perintis, ulet, tekun, dan berani mengambil resiko. Mereka juga harus mengerti peluang bisnis dan mampu memanfaatkannya ( halaman 77 ). Kesuksesan memang bukan sesuatu yang turun dari langit tetapi sukses memang membutuhkan perjuangan. Sama halnya dengan Sang Buddha dalam usahanya mencapai Kesucian atau Penerangan Sempurna, Beliau memerlukan perjuangan keras bahkan sangat keras! Kesucian atau Kebuddhaan yang Beliau capai bukanlah karunia dan bukan pula wahyu melainkan hasil perjuangan yang tidak kenal menyerah.

Dalam Anguttara Nikaya IV, 285 Sang Buddha menjabarkan bahwa keberhasilan usaha kita paling sedikit tergantung pada empat faktor utama yaitu:

1. UTTHANASAMPADA :
Rajin dan bersemangat di dalam bekerja.

Semangat, menduduki urutan pertama untuk menentukan kesuksesan kita karena pekerjaan kita tidak akan berhasil bila dikerjakan dengan setengah hati. Unsur dalam semangat adalah keinginan untuk menjadi orang nomor satu di lingkungan kita ( Warren Avis, hal. 77 ) Selain keinginan menjadi orang nomor satu, uang, kekuasaan dan status juga dapat memacu semangat kita. Semangat bekerja akan mudah didapat bila jenis pekerjaan yang dilakukan adalah menjadi kesenangan kita atau kalau dapat bahkan sejalan dengan hobby atau bakat kita. Dalam menghadapi situasi ekonomi saat ini yang sangat ketat persaingannya maka kepandaian saja bukanlah satu-satunya jaminan keberhasilan namun KETRAMPILAN atau KEMAMPUAN KHUSUS menjadi faktor penting menuju kesuksesan, disamping kerja keras, pelatihan, pengalaman dan strategi, tentu saja.

Schumacher juga menyebutkan bahwa Agama Buddha memandang kerja itu paling sedikit mempunyai tiga fungsi, yaitu:

1. memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya.

2. agar orang dapat mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain untuk melaksanakan tugasnya.

3. menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak.

( halaman 53 )

Hal senada juga dikatakan seorang ahli lainnya, Donald H. Bishop dalam tulisannya Is There a Buddhist Economic Philosophy? yang pada hakekatnya menyatakan bahwa kerja hendaknya dijadikan sumber kesenangan, kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas, sarana untuk mengungkapkan potensi diri, dan mengembangkan bakat seseorang. Pekerjaan akan menjadi sarana membentuk watak, memupuk persaudaraan dengan sesama manusia dan juga menyejahterakan kehidupan kita. ( halaman 491 )

2. ARAKKHASAMPADA :
Penuh hati-hati menjaga kekayaan yang telah diperoleh.

Memelihara kesuksesan adalah hal pokok kedua yang kadang diremehkan oleh sebagian orang yang telah merasa berhasil dalam usahanya. Menjaga kesuksesan di sini termasuk menjaga SISTEM YANG DIGUNAKAN dan HASIL YANG DIDAPAT serta berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi.

Meningkatkan sistem yang dipakai dan sekaligus akan meningkatkan hasil produksi kita dalam menejemen modern dikenal dengan istilah SWOT - Strength, Weakness, Opportunity, Threat. Hal serupa juga telah diuraikan caranya oleh Sang Buddha dalam salah satu unsur Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu DAYA UPAYA BENAR. Evaluasi ini disebutkan sebagai empat cara ( Padhana ) yang terdapat dalam Anguttara Nikaya II, 16:

a. Sangvarappadhana :
Usaha agar kekurangan yang BELUM dimiliki tidak timbul dalam diri kita, bandingkan dengan Opportunity.

b. Pahanappadhana :
Usaha untuk menghilangkan kekurangan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Weakness.

c. Bhavanappadhana :
Usaha untuk menumbuhkan kelebihan yang BELUM dimiliki, bandingkan dengan Threat.

d. Anurakkhappadhana :
Usaha untuk mengembangkan kelebihan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Strength.

Dapat disimpulkan di sini bahwa setelah mencapai keberhasilan suatu usaha hendaknya kita mau mencari faktor-faktor yang menyebabkannya dan kemudian berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi sedangkan bila menemui kegagalan pun haruslah ia dijadikan sahabat kita. Hal ini bahkan dikatakan secara tegas oleh Alan Loy McGinnis bahwa kegagalan itu ibarat persimpangan jalan yang paling penting menuju kerja yang lebih termotivasi. ( halaman 70 )

3. KALYANAMITTATA :
Memiliki teman yang bersusila

Dalam pengertian Buddhis, teman dan lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh cukup besar untuk kemajuan usaha kita. Teman tersebut akan mampu memberikan ide-ide segar dan dukungan moral agar kita maju dalam usaha. Digha Nikaya III, 187 memberikan kriteria dasar teman yang dapat memajukan usaha kita sebagai berikut,

a. teman yang mampu dan mau membantu didalam berbagai cara

b. teman yang simpati di kala suka dan duka

c. teman yang mampu dan mau memperkenalkan kita pada hal-hal yang bermanfaat untuk kemajuan usaha kita

d. teman yang memiliki perasaan persahabatan yaitu dapat memberikan kritik membangun dan jalan keluarnya, serta dapat memberikan pujian yang tulus agar memberikan dorongan semangat.

Sedangkan agar dapat memperoleh serta membina teman yang baik dan juga termasuk rekanan kerja yang sesuai perlu kita melaksanakan :

a. Dana : Kerelaan
b. Piyavaca : Ucapan yang menyenangkan dan halus
c. Atthacariya : Melakukan hal-hal yang berguna untuk orang lain
d. Samanattata : Memiliki ketenangan batin, tidak sombong

( Anguttara Nikaya II, 32 )

4. SAMAJIVITA :
Hidup sesuai dengan pendapatan, tidak boros dan juga tidak kikir

Materi dalam Agama Buddha bukanlah musuh yang harus dihindari, namun ia juga bukan pula majikan yang harus kita puja. Hendaknya kita bersikap netral terhadap materi serta mampu mempergunakannya sewajarnya sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan materi yang seimbang dilakukan dengan membagi keuntungan yang didapat dalam beberapa bagian,

25% : digunakan untuk membiayai hidup sehari-hari
50% : dipakai untuk menambah modal usaha
25% : disimpan sebagai cadangan di saat darurat
atau untuk berdana dan kegiatan sosial lainnya.

( Digha Nikaya III, 188 )

Terlihat di sini bahwa dengan menggunakan rumus di atas, kemewahan dan kekikiran menjadi relatif sifatnya. Kita tidak akan gampang mengatakan seseorang hidup bermewah-mewah ataupun sebaliknya kikir dengan hanya melihat sepintas pengeluarannya. Semua pengeluaran hendaknya disesuaikan dengan pandapatan sehingga dengan demikian pastilah kemajuan ekonomi tercapai. Bahkan sehubungan dengan hal ini Warren Avis menyatakan bahwa salah satu kesalahan yang dilakukan kebanyakan wirausahawan ialah kurang mengendalikan pengeluaran (hal. 217) padahal dengan menekan biaya serendah mungkin akan memaksimalkan keuntungan (hal. 211)

PENUTUP

Uraian singkat di atas sesungguhnya hanyalah merupakan kulit untuk mengenal Buddha Dhamma dengan lebih dalam. Namun walaupun hanya kulit hendaknya dapat memberikan manfaat positif untuk kebahagiaan hidup kita.

Pengetahuan akan kita bisnis sukses dengan Buddha Dhamma telah di tangan kita semua, kini tinggal pada sikap kita sendiri, akankah kita melaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam dunia usaha kita? Teori terbaik pun tidak akan bermanfaat bila kita tidak melakukan dan melaksanakannya, sama dengan obat manjur tidak bermanfaat kalau si sakit tidak pernah mau meminumnya. Hal ini telah disabdakan oleh Sang Buddha:

Daripada seribu kata yang tidak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

( Dhammapada VIII, 1 )

RENUNGAN :

Tugas yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan pancapaian saat ini adalah:
1. Semangat dan kerja keras menghasilkan kekayaan.
2. Perawatan dan perhiasan menambah kecantikan.
3. Melaksanakan pekerjaan pada saat yang sesuai menjaga kesehatan.
4. Persahabatan sejati menumbuhkan kebajikan.
5. Pengendalian indria menjaga kehidupan suci.
6. Menghindari sengketa menumbuhkan persahabatan.
7. Pengulangan menghasilkan pengetahuan.
8. Bersedia mendengar dan bertanya menumbuhkan kebijaksanaan.
9. Mempelajari dan menguji memperdalam Ajaran Kebenaran (Dhamma).
10. Kehidupan yang benar menghasilkan kelahiran di alam-alam sorga.

( Anguttara Nikaya V, 136)

No comments:

Post a Comment