Wednesday, January 19, 2011

Arti Berlindung


Arti Berlindung
Oleh: Yang Mulia Somdet Phra Nanasamvara


Harus dipahami bahwa Agama Buddha tidak bertujuan untuk membuat kita menyembah Sang Buddha sebagai makhluk surgawi dengan kekuatan-kekuatan supranormal. Agama Buddha lebih bertujuan untuk membuat kita memuliakan; Sang Buddha sebagai Buddha sejati (yang benar-benar telah tercerahkan oleh diri-Nya sendiri dan kemudian mengajarkan Dhamma kepada makhluk lain), untuk membuat kita memuliakan Dhamma sejati (yang dibabarkan oleh Sang Buddha), dan memuliakan Sangha sejati (Komunitas orang-orang yang berlatih). Tiga Perlindungan ini nyata dan dapat diandalkan.

Sebagian orang mungkin meragukan Ajaran Sang Buddha, sehubungan dengan Dhamma yang menyatakan; "Diri ini adalah pelindung bagi diri sendiri" dengan pernyataan tiga perlindungan terhadap; Buddha, Dhamma dan Sangha. Ada syair yang mengokohkan tiga perlindungan itu dan menyangkal perlindungan lain. Syair itu berbunyi:

"Tiada perlindungan lain bagiku; Sang Buddha-lah sesungguhnya pelindungku yang tertinggi,
Tiada perlindungan lain bagiku; Sang Dhamma-lah sesungguhnya pelindungku yang tertinggi,
Tiada perlindungan lain bagiku; Sang Sangha-lah sesungguhnya pelindungku yang tertinggi."
 
Jika orang mendengar sepintas, tampaknya ketiga hal ini saling berlawanan, tetapi sebenarnya tidaklah demikian.

Pertama, marilah kita lihat secara jelas ketiga obyek itu. Walaupun berbeda dalam pengertian materi, namun memiliki esensi yang sama; karena ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sang Buddha mewujudkan Dhamma, dan Dhamma ini dilestarikan oleh Sangha, sedangkan Sangha adalah murid-murid Sang Buddha; jadi ketiganya saling berhubungan. Ibarat tiga tiang kayu yang saling menyangga. Jika orang berlindung pada salah satunya, otomatis dia bergantung pada ketiganya. Dalam pengertian lain, Sang Buddha adalah perlindungan tertinggi; demikian juga Dhamma dan Sangha, sesuai dengan sifat-sifat khususnya masing-masing. Penghafalan kitab suci hanya merupakan ungkapan sederhana; tiada perlindungan lain selain Sang Buddha, tiada perlindungan lain selain Dhamma, tiada perlindungan lain selain Sangha.

Di sini, kita sampai pada masalah: apakah ini berlawanan dengan ajaran untuk berlindung pada diri sendiri? Sebenarnya, ketiga perlindungan ini disebut "sarana", sedangkan perlindungan pada diri sendiri disebut "natha", namun tidak perlu kita menyelidiki asal kata dari bahasa Palinya. Ajaran-ajaran ini tidak berlawanan, justru sebenarnya sangat sesuai. Seandainya kita membandingkan kehidupan kita dengan suatu perjalanan; kita mengambil perlindungan pada Sang Buddha sebagai pemandu, pada Dhamma sebagai jalan, pada Sangha sebagai orang-orang yang terus berjalan untuk menunjukkan jalan, dan pada diri sendiri kita sendiri sebagai musafir. Di sini, "diri" berarti diri kita sendiri, yang merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. Sejak lahir kita sudah harus berlindung pada diri sendiri.

Marilah kita renungkan hal ini sejenak, seorang anak memang tidak dapat bergantung pada dirinya sendiri; ayah atau ibunya harus selalu membantu menopangnya. Tetapi dalam hal yang paling penting anak itu justru harus bergantung pada dirinya sendiri. Orang tua menyediakan makanan dan mereka hanya dapat meletakkan makanan itu di mulut si anak. Lalu anak itu sendirilah yang harus mengunyah dan menelannya; tubuhnya harus menerima dan mencernanya. Dalam mengunyah dan menelan makanan, si anak harus bergantung pada dirinya sendiri. Begitu juga dalam hal belajar; si anak mungkin bergantung pada orang tuanya untuk mencari sekolah dan membayar uang sekolah, tetapi dia sendirilah yang harus belajar. Dia tidak dapat bergantung pada ibunya, ayahnya, atau siapa pun juga, agar belajar dan mencari ilmu baginya, sementara dia duduk santai berpangku tangan. Belajar untuk memperoleh pengetahuan membutuhkan ketergantungan pada diri sendiri, pada sendiri, dan pada kekuatan intelegensinya sendiri. Inilah yang disebut berlindung pada diri sendiri. Tatapi bagaimana orang dapat berlindung pada diri sendiri agar tidak menjadi malas dan tidak gagal? Orang harus berlatih sesuai dengan ajaran dan petunjuk Sang Buddha, yang mengajarkan kepada kita untuk berjuang dengan gigih sampai berhasil. Inilah yang disebut berlindung pada Sang Buddha, Dhamma dan Sangha; yaitu, merenungkan ketiganya dan berlatih sesuai dengan itu semua. Ketiganya dapat menjadi perlindungan bagi diri sendiri; demikian juga orang dapat berlindung pada diri sendiri.

Barangkali akan timbul pertanyaan; pada saat ini, di manakah Sang Buddha bersemayam? Murid-murid yang mempelajari sejarah Buddhis akan menjawab: pada saat ini, yang ada hanyalah Dhamma dan Vinaya (Peraturan) yang dicetuskan oleh Sang Buddha ketika Beliau masih hidup. Dhamma dan Vinaya sebagai wakil Guru Agung pernyataan tersebut dibuat ketika Beliau akan meninggal dunia (parinibbana). Tetapi beberapa murid Dhamma lain mungkin berusaha membuat orang lain berpikir dengan menjawab: "Sang Buddha mencapai Dhamma yang Kekal (amatadhamma), maka Beliau tidak dapat mati". Jadi sekarang inipun, Sang Buddha masih ada dan akan tetap ada selamanya. Di manakah Beliau bersemayam? Beliau ada di dalam Dhamma yang Kekal. Beberapa murid Dhamma lainnya mungkin akan mengacu pada bukti yang terdapat di kitab suci; di sana tidak disebutkan apakah Sang Buddha dan para Arahat meninggal dan lenyap, atau meninggal untuk dilahirkan lagi. Hal ini disebabkan karena yang mati adalah khandha(indriya) atau khandha tubuh (khandha-kaya). Sang Buddha dan para Arahat bukanlah khandha. Bila dikatakan bahwa mereka meninggal dan lenyap, atau meninggal dan apa pun sebutannya, semua itu tidaklah benar. Murid-murid Dhamma masih mempertahankan bahwa bila Sang Buddha dikatakan ada dan kekal, ini bukannya tanpa dasar. Jika orang ingin melihat Buddha pada saat ini atau kapanpun, dia harus bertekad untuk mempraktekkan Ajaran Buddha. Dia harus melatih pikiran untuk konsentrasi, melatih pemahaman Dhamma, dan kemudian dia akan dapat melihat Sang Buddha sendiri. Sang Buddha telah memastikan bahwa: "Siapa pun yang melihat Dhamma, berarti melihat Buddha". Kesaksian ini menyatakan bahwa Sang Buddha ada dan dapat benar-benar dilihat. Karena itu, memutuskan Sang Buddha sebagai pelindung, seperti yang terungkap dalam syair: "Pada Sang Buddha-lah saya berlindung" bukan berarti berlindung dalam kekosongan karena Sang Buddha sudah tidak ada. Sang Buddha benar-benar merupakan perlindungan sejati.

Metode latihan yang digunakan untuk berlindung pada Sang Buddha adalah dengan merenungkan sifat-sifat luhur yang dimiliki Sang Buddha. Atau dapat merenungkan dengan cara: Sang Buddha benar-benar telah tercerahkan, benar-benar suci, dan memiliki welas asih sejati. Beliau akan muncul dalam sifat-sifat luhur tersebut. Maka kesepian dan rasa takut akan lenyap dari pikiran seseorang. Atau jika orang merasa cemas dan tertekan, suasana hati yang demikian akan segera lenyap. frustasi mental akan lenyap; lalu akan tampak jelas cara terbaik untuk memecahkan masalah. Inilah kekuatan Buddha sejati. Yang penting adalah mempertahankan Sang Buddha dalam pikiran seseorang sebagai perlindungan sejati. Maka Sang Buddha kemudian akan muncul sebagai perlindungan bagi seseorang. Pikiran yang memiliki perlindungan itu akan bersifat hangat dan tidak kesepian; kuat dan tidak lemah; berani dan tidak takut; murni, tidak menderita dan tidak keruh. Pikiran itu cenderung memunculkan pandangan benar. Bilamana orang telah melatih konsentrasi dan pemahaman Dhamma sehingga dia dapat melihat Dhamma, maka dia akan melihat Sang Buddha dengan jelas dan jernih. Sang Buddha dan Ajaran-Nya, nyata dan dapat menjadi perlindungan yang dapat diandalkan bagi siapa pun di dunia ini.

 [Dikutip dari Pengabdian Tiada Henti, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia. Naskah asli: Meaning of Refuge, Diambil dari Buku: FAITH IN BUDDHISM, Karya: H.H. Somdet Phra Ñanasamvara, Penerbit: Wat Bovoranives Vihara Bangkok, Thailand ]

Tuesday, January 18, 2011

Apakah Agama Buddha Itu Kuno?

Apakah Agama Buddha Itu Kuno?
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera


Kalau kita melihat agama Buddha 'secara sepintas' maka kita akan dihadapkan pada satu anggapan bahwa agama Buddha adalah agama yang tidak menarik, agama yang kadang-kadang terlihat bersifat mistis dan sudah tidak cocok lagi dengan kehidupan modern seperti sekarang ini. Mengapa demikian? Coba kita perhatikan semua perlengkapan sembahyang yang ada di altar. Ada patung yang maha besar dan kita bernamaskara atau satu persujudan kepada patung tersebut sehingga orang lalu menyatakan bahwa agama Buddha adalah penyembah berhala. Kita juga akan menemukan dupa/hio dan bunga yang mirip seperti untuk sesajen. Kemudian ada lilin yang seolah-olah berkata bahwa agama Buddha belum percaya akan adanya listrik. Belum lagi terlihat gentong yang memberi kesan seolah-olah kita sedang berada disebuah toko barang antik. Kalau kita perhatikan lagi, kita akan menemukan makhluk-makhluk yang lebih antik lagi; yakni bahwa di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, kita tetap duduk di lantai bila sedang melaksanakan kebaktian. Dari sinilah kritikan-kritikan terhadap agama Buddha dilontarkan! Kita mungkin pernah mendengar orang mengatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang sudah kuno dan ketinggalan zaman. Hal ini dapat dimengerti karena mereka hanya melihat dari sudut tradisi/luar saja. Padahal ajaran Sang Buddha tidak pernah ketinggalan zaman.

      Lalu apa buktinya bahwa agama Buddha itu mengikuti perkembangan zaman? Setiap kali kita mengikuti kebaktian, kita tentu membaca tuntunan Tisarana dan Pancasila yaitu menghindari pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan. Apakah Pancasila ini sudah kuno dan milik umat Buddha saja? Apakah agama lain menghalalkan pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan? Tentu kita akan menjawab: "Tidak!" karena semua manusia pasti harus melaksanakan Pancasila baik pada masa yang lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Ini adalah satu bukti bahwa ajaran Sang Buddha selalu mengikuti perkembangan zaman.

      Mungkin hal ini belum dapat memuaskan Saudara karena masih terlalu umum. Untuk itu mari kita lihat intisari/jantung dari seluruh ajaran Sang Buddha. Apakah intisari/jantung ajaran Sang Buddha itu? Intinya adalah "kurangi kejahatan, tambahlah kebaikan, sucikan hati dan pikiran". Apakah hal tersebut hanya berlaku di zaman Sang Buddha dan hanya milik agama Buddha saja? Apakah agama lain menganjurkan: "tambahlah kejahatan, kurangi kebaikan dan kacaukan pikiran?" tentu tidak! Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha sudah kuno dan ketinggalan zaman. Karena sesungguhnya ajaran Sang Buddha selalu mengikuti zaman! Bahkan Albert Einstein yang terkenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan pernah menyatakan bahwa "Agama yang bisa menjawab tantangan ilmu pengetahuan adalah agama Buddha".

      Oleh karena itu berbahagialah kita sebagai umat Buddha. Namun hanya berpuas diri sebagai umat Buddha masih belum cukup, karena ada ajaran yang lebih dalam lagi yaitu kita hendaknya bisa melaksanakan ajaran Sang Buddha di dalam kehidupan sehari-hari. Ini penting sekali karena ajaran Sang Buddha itu tidak hanya bersifat teori tetapi perlu dilaksanakan! Hal ini sama halnya dengan contoh orang yang mempunyai hobby berenang. Misalnya Saudara diberitahu bahwa berenang itu menyenangkan dan dengan bisa berenang maka Saudara tidak perlu lagi takut kepada air. Lalu Saudara suka berkhayal tentang berenang. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mau mencoba, apakah Saudara akan bisa berenang, walaupun teori-teori berenang sudah dikuasai? Apakah Saudara cuma cukup berbangga: "Ah... saya 'kan bisa teori berenang." Tentu tidak! Demikian pula dengan ajaran Sang Buddha! Ajaran Sang Buddha memang sungguh luar biasa, begitu agung, begitu indah dan tidak pernah ketinggalan zaman. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mempraktekkannya, apakah hal tersebut akan bermanfaat? Justru dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha, Saudara akan bisa menyelesaikan permasalahan di dalam kehidupan sehari-hari.

      Lalu bagaimanakah cara menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan ajaran Sang Buddha? Sebetulnya ajaran Sang Buddha itu sudah terbabar di altar, hanya saja kita jarang memperhatikannya. Perlengkapan sembahyang yang dianggap kuno itu ternyata mampu menjadi salah satu medium yang dapat membabarkan Dhamma karena tersirat makna yang cukup dalam dan bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan:

      1. Patung Sang Buddha
      Patung Sang Buddha ini bentuknya bermacam-macam. Ada yang menggunakan bentuk seperti payung yang ada di Candi Borobudur, ada yang menggunakan gaya India, Thailand, Srilanka, dsb. Kenapa bisa berbeda-beda? Karena sesungguhnya patung Sang Buddha bukan melambangkan/mewujudkan manusia Siddhattha Gotama. Jadi kalau Saudara berada di depan patung Sang Buddha, jangan Saudara membayangkan bahwa Sang Buddha itu seperti patung yang ada di hadapan Saudara atau yang pernah Saudara lihat. Kalau kita mengingat kembali riwayat hidup Sang Buddha, kita akan melihat bahwa ketika Beliau masih menjadi bodhisatva, sesungguhnya Beliau memiliki satu kehidupan yang sangat berlebihan; ada harta, tahta dan wanita. Namun Pangeran Siddhattha adalah manusia yang mempunyai cara berpikir yang berbeda. Ketika Beliau menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya tidak kekal dan tidak memuaskan, Beliau pun memutuskan untuk mencari obat yang dapat mengatasi ketuaan, sakit, lahir dan mati; walaupun sangat menderita, Beliau terus berjuang. Bahkan pada suatu hari Beliau bertekad untuk tidak akan berdiri dari tempat duduknya sebelum menemukan obat sakit, tua, lahir dan mati; dan malam itu juga Beliau berhasil menembus hakekat hidup yang tidak kekal yang disebut mencapai Nibbana/padamnya keinginan, yang sekarang diperingati setiap hari Waisak. Inilah sesungguhnya makna yang terkandung dari patung Sang Buddha yaitu lambang semangat yang tidak pernah kenal putus asa. Ketika melihat patung Sang Buddha, hendaknya muncul semangat untuk bekerja, semangat untuk berjuang dalam meraih cita-cita. Kita bersujud di depan patung Sang Buddha adalah untuk menghormati Guru kita yang telah mengajarkan kebenaran, jadi bukan menyembah pada patung. Dengan demikian, kita tidak akan pernah kekurangan/kehilangan semangat dalam perjuangan hidup kita. 

      2. Lilin
      Lilin ini sesungguhnya juga merupakan suatu lambang. Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya seorang umat Buddha mau berkorban untuk kebahagiaan makhluk lain. Pengorbanan besar telah diberikan oleh Guru kita; 6 tahun menderita dan membaktikan diri selama 45 tahun untuk mengajarkan Dhamma setiap hari. Kita pun sebagai murid-muridNya hendaknya bersikap demikian; seperti lilin yang menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya kita sebagai umat Buddha bisa menjadi pelita di dalam kehidupan bermasyarakat dengan kebenaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha.

      3. Bunga
      Bunga melambangkan ketidak kekalan; hari ini indah dan wangi tetapi besok akan layu, lusa akan membusuk dan dibuang. Demikian pula dengan diri kita; hari ini kita masih sehat, kuat dan cantik tetapi dengan berlalunya sang waktu; kesehatan, kekuatan dan kecantikan kita pun akan berkurang. Seperti bunga yang sekarang segar, besok akan layu dan dibuang; demikian juga hendaknya kita selalu menyadari bahwa pada suatu ketika kita pun akan dibuang, berpisah dengan yang dicintai dan berkumpul dengan yang dibenci. Oleh karena itu, tidak ada gunanya kita sombong/berbesar kepala karena semua ada batasnya dan tidak kekal. Ini adalah Dhamma yang dipesankan lewat altar. 

      4. Air
      Air ini melambangkan pembersih segala kotoran. Seperti air yang membersihkan semua debu-debu kekotoran; demikian juga ajaran Sang Buddha hendaknya bisa membersihkan segala kekotoran yang melekat di batin dan pikiran kita baik ketamakan, kebencian maupun kebodohan. 

Cerpen Buddhis: Friends

Friends
"Tok, tok, tok !" "Tunggu sebentar!" sahut Andre mendengar pintu kamar kostnya diketuk. Dengan malas, Andre pun berdiri, berjalan ke arah pintu, "Oh, kamu, Nia, ada apa siang-siang begini?"

"Ada apa?" tanya Nia keheranan, "Oh, kamu menyindirku ya?, karena aku kepagian lebih dari setengah jam? Sorri, soalnya daerahku itu 'kan susah dapat angkot, jadinya aku keluar lebih awal, tahunya hari ini gampang!"

Andre tersenyum, "Ngak, aku ngak nyindir kamu, aku betul-betul naya, ada perlu apa kamu ke sini?".
"Becanda kamu!"

Melihat tampang Andre yang serius, Nia pun melanjutkan dengan nada agak kesal, "Hari ini hari sabtu, Susan ulang tahun hari ini dan ngundang kita makan, dan kita udah janji buat nyari kado siangnya!"

"Ohh...!" Andre menepuk keningnya, Ya..ya..ya...., maaf, aku lupa!". "Paulus mana?" lanjut Andre. Nanti juga akan ke sini, 'kan janjiannya bakal ketemu di sini, kamu juga lupa itu.. ya? Tadi juga dia udah kutelepon!"

Mereka berempat dengan Susan memang bersahabat sejak SMU dulu. Kini mereka kuliah di tempat yang berbeda-beda, namun sampai saat ini masih mengontak satu sama lainya. Uniknya, tidak satupun diantara mereka yang beragama sama. Andre sendiri seorang pemeluk agama Buddha yang tulen, Nia beragama Kristen, dan Paulus Katolik. sedangkan Susan, lebih senang mengikuti orang tuanya saja, Kong Hu Chu.
"Duduklah dulu, mau minum apa?" Andre memecah keheningan.

"Udah, angak perlu repot, kayak orang asing saja. Ntar aku ambil sendiri aja. Kamu lagi sibuk ya?" lanjut Nia, melihat kertas-kertas yang berserakan di atas meja belajar Andre. "N gambil semester pendek?" lanjutnya lagi mengingat saat itu seharusnya mereka tengah liburan. Memang beberapa Universitas termasuk Universitas tempat Andre kuliah telah mulai dengan program semester pendeknya.

"Ya aku ngambil 8 sks di semester pendek ini, tapi bukan itu yang sedang kukerjakan!" "Urusan Vihara?"
Andre mengangguk, lalu melanjutkan, "Sebenarnya....." Andre berpikir untuk mencari kata yang tepat.

"Sebenarnya kamu ngak bisa datang nanti malam karena kamu telah buat janji yang lain, di Viharamu, ya kan?"

Andre mengangguk, "Aku sudah janji sama Unit Kreatif untuk ngebantu bikin papan mading yang baru dan ....."

"Tapi kamu kan ketua!" potong Nia cepat.

Mereka terdiam, "Apa ngak ada orang lain?".

"Kasihan Frederik, stafnya banyak yang pulang kampung, dan sebagian lagi tidak peduli akan kerjaanya."

"Tapi kan masih ada yang lain, yang bukan staf unit itu pun seharusnya ikut andil dong! Udah sana telepon Frederik dan bilang kamu ngak bisa datang!"

"Ya, tapi kamu kan setidaknya ngerti gimana kondisinya, berapa orang yang benar-benar punya perhatian buat...buat...."

"Aku ngak mau dengar itu, Andre. Gimana nanti perasaan Susan. Pas kita janjian nonton waktu itu juga udah kamu batalin gara-gara ada rapat di Viharamu kan?".

Andre menghela napa, "Sejujurnya, aku iri sama organisasi agama kalian!"

"Gimana kuliahmu?" "Apa?", "Kuliahmu!?" "Aku ngak lulus dua mata kuliah!" Andre menunduk, ada suatu rasa malu juga ketika dia menyebutkan itu.

Kamu ingat nilai-nilai kamu di tingkat I dulu, dan bagaimana pujian guru-guru selalu dilayangkan padamu semasa SMU dulu?". "Aku ngak pingin membahas masalah itu, Nia".

"Bagaimana kamu harus menghadapi masalah itu, Andre!".

"Ya tapi semuanya telah menjadi begitu rumit, dan itulah yang ingin aku pecahkan sekarang ini. Perhatian dari staf dan umat yang sangat kurang, pihak yayasan, belum lagi senior-senior yang turut campur, padahal mereka sendiri kurasa belum tentu mengerti betul bagaimana kondisi Vihara sekarang. Belum lagi...", Andre terhenti, tak tahu lagi apa yang ingin dikatakannya.

"Belum lagi ? Ah...tak tahulah !"

Suasana hening sejenak, "Kapan terakhir kamu minta bantuan ?"

Andre mengingat-ingat, "Hari minggu kemarin, ketika aku minta Hedy untuk mengkoordinir umat yang mau main basket !" Nia tersenyum, "Itu bukan minta bantuan, itu kan memang tugasnya dia sebagai koordinator Olahraga!"

"Oh..dua hari yang lalu ketika kuminta Nancy untuk mengetikkan surat..." Andre tidak melanjutkan kalimatnya.

"Kamu berubah banyak, Andre. Mana sistem pembagian waktumu yang bagus itu, ketika kamu berhasil memimpin OSIS tanpa menanggalkan gelarmu sebagai siswa dengan nilai terbaik di sekolah kita?"

Suasana hening kembali, "Kurasa kesalahanmu cuma satu, kamu begitu ingin memajukan Viharamu dan Agama Buddha. Itu memang suatu hal yang sangat indah dan terpuji, tapi caramu salah, bukan dengan mengorbankan dirimu habis-habisan begitu. Mereka juga perlu belajar bertanggung jawab. Disitulah perananmu, arahkan mereka, dan tak perlu sungkan untuk menegur mereka!" "Kenapa kamu begitu perhatian padaku, Nia? Apakah ...?"

"Kamu sahabatku. Betapapun jeleknya kamu, apapun agamamu, yang jelas kita telah bersahabat sejak SMU, dan itu yang ingin aku jalani!"

Untuk kesekian kalinya, suasana hening kembali tercipta, "Kupikir senior-seniormu juga mesti berpikiran seperti ini, tidak hanya mengkritik saja, tetapi juga berusaha untuk melihat kondisi di dalamnya. Staf-staf kamu juga, kalau mereka benar-benar peduli dan sadar akan komitmennya, semoga lambat laun mereka bisa menempatkan diri secara tepat."

Andre tersenyum masam, "Tapi...bagaimana aku bisa memulai itu semua?" Nia mengangkat bahunya, "Mungkin kamu bisa menuliskan percakapan kita ini menjadi sebuah cerpen sebagai permulaan!"

Andre berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk sendiri dan berkata, "Terima kasih, Nia!" Nia cuma bisa mengangguk.

Tiba-tiba mereka dikejutkan suara Paulus, "Aduh, maaf aku terlambat hampir 10 menit, tadi dompetku ketinggalan, jadi aku harus kembali untuk mengambilnya dan..."

Andre mengusap air matanya yang tanpa sadar telah merebak tadi, "Masuklah dulu, Paul! Aku telepon teman dulu, t'rus ganti baju, dan kita segera berangkat, Oce?"

Paulus cuma terheran-heran, "Apa aku ketinggalan sesuatu?" Nia tersenyum, "Ya, jelas, sebuah cerita indah!"

(Dikutip dari Berita Vimala Dharma)

Monday, January 10, 2011

Empat Kebenaran Mulia, Sebuah pendekatan Modern

The Four Noble Truths



Empat Kebenaran Mulia
Sebuah pendekatan Modern
Oleh : Willy Yandi Wijaya

Salah satu pilar ajaran Buddha yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti yang tersirat di dalam Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Di berbagai bagian Sutta Pitaka[1] dapat kita temukan cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat Kebenaran Mulia. Cara berpikir tersebut adalah:
  1. Memahami Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut
  2. Menyadari dan menemukan ada penyebab masalah tersebut
  3. Mengetahui bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara penyelesaiannya
  4. Menemukan cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya
Hal tersebut menunjukkan kecerdasan Sang Buddha dan cara berpikir yang logis. Empat Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda[2]. Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah berhentinya noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”[3]

Empat Kebenaran Mulia ini adalah ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertamanya di Benares[4]. Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga adalah ajaran khusus para Buddha[5], yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4 Kebenaran Mulia ini walaupun dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian ajaran yang berbeda.

Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah  sebagai berikut:
  1. Kebenaran Mulia tentang adanya ‘penderitaan’ (dukkha)
  2. Kebenaran Mulia tentang penyebab penderitaan
  3. Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan
  4. Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan
Di sini akan dibahas masing-masing perbagian sesuai dengan sutta-sutta[6] dalam Tripitaka, khususnya Sutta Pitaka.

The Four Noble Truths and Eightfold Path
Diagram 4 kebenaran mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan


Kebenaran Mulia tentang Adanya ‘Penderitaan’ (dukkha)

Kata penderitaan yang digunakan di sini mewakili kata dukkha, walaupun tidak sepenuhnya dapat mewakili makna kata dukkha. Sebelum lebih lanjut membahas tentang penderitaan (dukkha), kita akan melihat definisi dukkha yang ada di dalam Kitab Suci Tripitaka.

“Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan (ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan Dengan kata lain Lima kelompok kehidupan (Pancakhandha) yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha).”[7]

Definisi dukkha (penderitaan) di dalam Kitab Tripitaka terdapat di dalam beberapa sutta. Pengulangan yang berkali-kali menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap Empat Kebenaran Mulia, salah satunya memahami bahwa hidup itu diliputi dukkha (penderitaan)

Memang jika diterjemahkan sebagai penderitaan, kata dukkha akan membuat seolah-olah bahwa agama Buddha memandang hidup adalah pesimis. Namun, dukkha bukan hanya berarti penderitaan dalam artian biasa. Penderitaan disini yang dimaksud adalah penderitaan dari ketidakpuasan seseorang terhadap suatu hal, padahal apapun pasti berubah. Dukkha bisa diartikan sebagai penderitaan karena tidak bisa menerima perubahan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang dukkha, perlu diketahui bahwa ciri semua hal yang ada di dunia ini bersifat ‘selalu berubah’. Ini adalah sesuatu yang pasti. Perubahan selalu terjadi, entah disadari atau tidak, diakui atau tidak. Perubahan itu kemudian lebih lanjut dijabarkan dalam kerangka buddhisme sebagai tilakkhana (tiga corak umum). Tiga corak umum mempunyai arti bahwa tiga hal tersebut pasti dan selalu berlaku, yakni ketidakkekalan (anicca), penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha), dan tidak ada diri/sesuatu yang tetap (anatta). Ketiganya tak lain mewakili realitas dunia yang selalu berubah.

Jadi dukkha sebenarnya adalah cara pandang manusia terhadap perubahan itu. Dukkha adalah penderitaan atau ketidakpuasan karena manusia tidak bisa hidup kekal (anicca). Konsep perubahan diwujudkan dari 3 sisi pandang yaitu:
  1. Bagi alam atau benda mati dikatakan sebagai anicca (tidak kekal)
  2. Bagi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri dikatakan sebagai dukkha (menderita karena merasakan perubahan)
  3. Bagi manusia atau mahkluk hidup dikatakan sebagai anatta (tidak ada diri yang tetap abadi tanpa perubahan atau roh/jiwa yang kekal tanpa perubahan)
Jadi dukkha di sini menjadi jelas jika memandangnya dari sudut manusia terhadap diri sendiri dan itu berarti dukkha lebih tepat dikatakan sebagai penderitaan karena cara pandang yang salah terhadap kenyataan. Dengan kata lain dukkha terjadi karena manusia masih bersifat subjektif dalam memandang realitas segala sesuatu, yaitu perubahan.


Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perasaan tidak puas karena kehilangan atau perubahan itulah yang dinamakan dukkha. Dengan pemahaman terhadap penderitaan (dukkha) seperti itu, kita dapat melihat bahwa penderitaan tersebut diakibatkan oleh ‘perasaan tidak puas’. Di dalam konteks buddhis, dinamakan tanha. Tanha adalah nafsu keinginan yang melekat. Melekat artinya jika tidak mendapatkan, maka akan menderita. Kita perlu memahami dengan jelas keinginan biasa dan keinginan yang melekat. Contohnya adalah seorang anak kecil yang ingin mainan. Ia terus ingin dan ingin padahal faktor penunjang untuk mendapatkan mainan tersebut tidak ada. Akhirnya anak tersebut menangis dan ia merasa menderita. Seandainya anak tersebut hanya ingin, namun ia sadar bahwa kenapa orang tuanya tidak membelikannya, keinginannya menjadi hal yang wajar dan tidak melekat. Sama seperti Sang Buddha yang masih ingin makan, namun tidak melekat pada makanan. Sang Buddha tidak menderita ketika tidak mendapat makanan, namun bukan berarti Sang Buddha tidak ingin makan. Seandainya Sang Buddha tidak ingin makan, maka proses makan tidak akan ada dan akan merugikan dirinya sendiri.

Akar dari keinginan yang melekat adalah ketidaktahuan (avijja). Ketidaktahuan (avijja) adalah ketidaksadaran pada suatu momen (saat ini) akan realitas dunia ini yang selalu berubah. Contohnya adalah anak kecil yang ingin mainan tersebut. Seandainya anak kecil tersebut mengerti bahwa keinginannya hanya sesaat dan belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa mainan tersebut lama-kelamaan akan membuatnya bosan juga, ia akan terbebas dari keinginan yang melekat. Jadi ketika keinginan datang menghampiri, kita harus hati-hati untuk tidak  terikat kepadanya. Pikiran dan renungkan dengan bijak apakah keinginan tersebut betul-betul kita butuhkan atau hanya untuk memuaskan keserakahan kita.

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan
Di dalam sammaditthi sutta[8] dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa, penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu keinginan. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak melekat, tidak serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.

Nibbana sebagai kedamaian atau kebahagiaan sejati adalah ketika penderitaan lenyap, ketika akar penderitaan yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha) telah lenyap. Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati yang saat ini dapat kita alami karena sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dapat kita hancurkan saat ini juga dengan ketidakserakahan atau ketidakmelekatan (berdana), ketidakbencian atau cinta kasih dan welas asih, serta dengan kebijaksanaan sejati.

Sang Buddha mengatakan bahwa beliau hanyalah seorang penunjuk jalan menuju kebahagiaan sejati (nibbana). Beliau mengajarkan bagaimana melatih diri untuk mengendalikan sifat-sifat negatif. Buddha tidak bisa membawa sesorang ke Nibbana karena nibbana hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap orang. Yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan sejati) adalah diri sendiri dengan melatih seperti yang diajarkan beliau yakni Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi berhentinya penderitaan (dukkha) sama artinya dengan tercapainya nibbana.

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan
Sang Buddha memberikan gambaran akan realitas kehidupan, yakni ketidakpuasan atau penderitaan, penyebabnya dan setiap orang dapat mencapai kebahagiaan sejati (nibbana) saat ini juga dengan melenyapkan penderitaan (dukkha). Untuk dapat mencapai kebahagiaan sejati, Buddha mengajarkan suatu cara yang dapat dilakukan setiap orang. Cara tersebut dinamakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Inilah jalan yang akan membawa siapapun kepada kebahagiaan sejati jika telah sempurna dilaksanakan dan telah menjadi bagian dari setiap tindakan yang dilakukan seseorang baik dari agama, ras, suku apa pun juga. Jadi ketika cara pandang seseorang serta tindakannya sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan—baik ia seorang beragama atau tidak—pasti kebahagiaan sejati akan dialaminya.


Kedelapan bagian dari kesatuan jalan yang saling terjalin tersebut adalah pandangan benar, pikiran atau niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian atau penghidupan benar, upaya benar, perhatian atau perenungan benar, dan konsentrasi atau kesadaran benar. Kita memandang kedelapannya sebagai satu kesatuan seperti seutas tali yang terjalin yang saling memengaruhi. Kita melihatnya sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketika suatu perbuatan yang dilakukan baik, hal tersebut berarti pikirannya baik. Ketika sebuah ucapan seseorang bermanfaat, berarti pikirannya dipenuhi oleh cinta kasih. Pikirannya benar (positif) karena pandangannya benar. Sehingga kedelapannya adalah satu kesatuan dengan pusat talinya adalah pandangan benar.






Daftar Pustaka
Kitab suci agama buddha. 2004. Majjhima Nikaya 1. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2005. Majjhima Nikaya 2. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2006. Majjhima Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2002. Petikan Anguttara Nikaya 2. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan DHAMMAGUNA.
Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.

http://www.accesstoinsight.org/ptf/dhamma/sacca/sacca1/index.html



Catatan Kaki
[1] Sutta Pitaka adalah bagian dari Tripitaka (Kitab Suci Agama Buddha)
[2] noda-noda=tiga akar kejahatan yaitu: keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin (moha)
[3] Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42 (dua-duanya persis sama)
[4] MN 141.2
[5] MN 56.18
[6] Sutta adalah ucapan Buddha Gotama yang tertulis di dalam Kitab Suci Tripitaka
[7] Definisi ini dapat ditemukan di dalam Anguttara Nikaya (AN) VI,63 atau MN 9.15 atau MN 28 atau MN 141.1 atau Samyutta Nikaya (SN) 56.11 (semuanya sama persis)
[8] MN 9.17

Sumber: http://willyyandi.wordpress.com/2008/04/12/empat-kebenaran-mulia/