Thursday, February 11, 2010

Agama Buddha Dan Tindakan Tanpa Kekerasan


Agama Buddha Dan Tindakan Tanpa Kekerasan
Oleh Pandita D. Henry Basuki



Di India pada abad ke duapuluh dikenal ajaran Mahatma Gandhi tentang ahimsa, sedangkan 26 abad sebelumnya di wilayah yang sama Sang Buddha mengajarkan metta atau cinta kasih. Keduanya serupa tetapi tidak sama, ahimsa berarti tanpa kekerasan, sedangkan metta berarti welas asih. Orang mengembangkan welas asih pasti tidak melakukan kekerasan, penekanan serta penindasan.

Masuknya agama Buddha di Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun dari catatan sejarah I Tsing pada abad ke V menyebutkan bahwa di Tanah Jawa berkembang agama Buddha.

Selama terjadinya nasional stat dua kali, agama Buddha hidup berdampingan secara damai dengan agama- agama yang ada. Dalam penyebarannya agama Buddha tidak melakukan dengan kekerasan. Namun demikian pemeluk agama Buddha mengalami perlakuan kekerasan serta ketidak adilan, Bagaimana ajaran Sang Buddha menghadapi kekerasan dan ketidak adilan, diikuti oleh pemeluk agama Buddha dimanapun juga.

Tiga Perilaku

Dalam agama Buddha ada 3 dasar perilaku, yaitu kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. (Angutara Nikaya IV/241) Ketiganya saling berkaitan, tidak dapat dipisahkan. Bila dilaksanakan akan membentuk sikap hidup yang baik lahir dan batin. Secara lahiriah. Ketiganya akan dapat melaksanakan kebajikan sesuai tuntutan agama dan semua harapan masyarakat luas, secara batiniah ketiganya tidak munafik.

Makna kerelaan adalah mengurangi kemelekatan terhadap benda-benda yang dimiliki. Melakukan hal ini, seseorang melatih diri memberikan benda milik yang sesuai kepada mereka yang membutuhkan.
Kemoralan adalah latihan pengendalian diri agar tidak melakukan paling tidak 5 perbuatan tercela,yaitu pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan dan mabuk-mabukan. (Angutara Nikaya III, 203)

Sedangkan konsentrasi adalah latihan menyadari segala sesuatu yang sedang dipikirkan. Dalam hal ini bila timbul pikiran yang baik segera dapat diwujudkan dengan perbuatan, sebaliknya bila timbul pikiran yang tidak baik dapat dikendalikan sehingga tidak dilaksanakan.

Penjabaran

Karena lemahnya pengendalian pikiran, banyak orang dalam kehidupannya sehari-hari cenderung lebih mudah mencari kepuasan dengan mengacu tiga perbuatan tersebut di atas daripada mengendalikannya. Itulah sebabnya orang lebih gampang melakukan perbuatan tercela karena mendatangkan kepuasan batin dan menyebut dengan mudah bahwa sulit melakukan perbuatan baik.

Karena kemelekatan, orang menjadi kikir, karena tumbangnya nilai kemoralan orang melakukan kekerasan, karena lenyapnya konsentrasi orang jadi lepas kendali.

Orang yang setiap hari melaksanakan ibadah agama saja dapat lepas kendali di tengah emosi massa. Bagaimana bagi orang yang tidak mengenal ajaran agama ?

Empat Sifat Mulia Sang Buddha mengajarkan adanya empat sifat baik yang wajib dikembangkan, disebut Brahma Vihara, yaitu:
  1. Metta, yaitu sifat cinta kasih kepada semua makhluk, maksudnya mengharapkan kesejahtreraan dan kebahagiaan semua makhluk tanpa membedakan. Sifat ini adalah cinta secara universal atau tanpa didasari nafsu,

  2. Karuna , yaitu kasih sayang atau belas kasihan yang timbul bila menyaksikan penderitaan makhluk lain. Perkembangannya akan dipunyai hasrat untuk membantu meringankan penderitaannya,

  3. Mudita, yaitu sifat simpatik, sifat ikut bergembira menyaksikan kegembiraan pihak lain. Sifat ini kebalikan rasa iri hati,

  4. Upekkha, yaitu keseimbangan batin. Sifat batin yang seimbang dalam segala keadaan olehkarena menyadari bahwa setiap makhluk memetik hasil dari perbuatannya sendiri.


Manfaat dari mengembangkan empat sifat luhur demikian adalah bahwa seseorang akan terhindar dari usaha pihak lain yang akan melakukan perbuatan tercela terhadap kita, termasuk kekerasan.

Kita hendaknya dapat menerapkannya pada saat mana kita menggunakan metta, pada saat mana menggunakan karuna, pada saat mana kita menggunakan mudita dan pada saat mana kita menggunakan upekkha. Pengembangan empat sifat ini akan menjadikan kita dapat menyesuaikan diri di tengah masyarakat.

Menghadapi Kekerasan

Umat Buddha percaya akan adanya Hukum Karma, yaitu Hukum Sebab Akibat. Segala sesuatu yang terjadi adalah akibat karma kita. (terjemahan kata karma adalah perbuatan) Orang memahami ‘hukum karma’ sebagai ‘hukum tanaman’. Dalam filsafat Jawa ada kata mutiara yang menyebutkan ‘sing nandur bakal ngunduh’. Arti luas kata mutiara ini adalah Hukum Karma juga.

Siapa yang menanam kabaikan, ia akan menerima kebaikan atau keadaan yang baik pada dirinya, sedangkan yang menanam perbuatan jelek akan mengalami hal yang tidak baik pada dirinya,

Karena paham agama Buddha mengenal tumimbal lahir atau kelahiran kembali, bila tidak sempat memetik hasilnya pada kehidupan masa kini, maka akan dipetik pada kehidupan selanjutnya.

Walau pada saat ini kita tidak melakukan kejahatan, kekerasan maupun kekejaman, kemungkinan kita akan menerima perlakuan kejahatan, kekerasan dan kekejaman dari pihak lain yang merupakan hasil perbuatan kelahiran lampau. Kelahiran lampau berarti kelahiran sebelum kelahiran masa kini.

Sang Buddha mengajarkan bila pihak lain melakukan kejahatan kepada kita, maka tidak pada tempatnya kita balas melakukan kejahatan kepadanya. Bila kita membalas, maka pihak “sana” akan membalas kembali dan berkembanglah kejahatan itu makin luas.

Membalas kejahatan juga akan berakibat dikenai kejahatan, jadi bila kita tidak membalas kejahatan yang dia lakukan, dia pasti akan menerima kejahatan sesuai dengan Hukum Karma, karena Hukum Karma berlaku bagi semua orang. Masalah orang itu mengerti, mengakui apa tidak dia tetap “kena” Hukum Karma.

Tidak membalas kejahatan ini diteladani juga oleh Sang Buddha. Saudara sepupu beliau, bernama Devadatta adalah orang yang iri hati akan kemampuan dan karismatik Sang Buddha. Berkali-kali Devadatta melakukan perbuatan jahat, setiap kali pula Sang Buddha tidak membalasnya. Kekuatan metta (cinta kasih) Sang Buddha sudah dapat menghentikan rencana jahat Devadatta.

Ketika Sang Buddha menceriterakan kisah Pangeran Dirghayu yang ayahnya Raja Dirgheti dibunuh oleh Raja Brahmadatta, Sang Buddha menjelaskan bahwa sesaat sebelum wafat Raja Dirgheti minta agar putranya tidak membalas pembunuh ayahnya dengan cara yang sama.
“Kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan welah asih”. (Majjima Nikaya 128)

Tindakan Praktis

Menyadari diri sebagai bagian dari masyarakat, selayaknya kita punya rasa tidak melekat pada apa yang kita miliki, namun juga rela melepaskan kepada pihak lain. Rasa demikian ini diwujudkan dengan memberikan dana kepada pihak yang membutuhkan. Kemelekatan bila dibiarkan tumbuh akan berkembang menjadi keserakahan. Untuk melenyapkan keserakahan inilah wajib dilakukan dana. Usahakanlah dana diberikan kepada yang membutuhkan.

Seseorang beragama Buddha secara preventif supaya tidak mendapatkan perilaku kejahatan, kekejaman maupun kekerasan tekun melatih 5 sila sebagai kemoralan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu latihan pengendalian diri agar tidak melakukan pembunuhan (termasuk penganiayaan), tidak melakukan pencurian (termasuk penjarahan, perampokan), tidak melakukan pelanggaran kesusilaan (termasuk perselingkuhan, perzinaan dan perkosaan), tidak melakukan kebohongan (termasuk penggelapan, penipuan) dan tidak mabuk-mabukan (termasuk penggunaan narkoba).

 [ Pernah disampaikan dalam Seminar Regional “AGAMA DAN KEKERASAN” dengan topik “Agama dan Deseminasi Prinsip-prinsip Nir Kekerasan (Persepektif Buddha), dikutip dari Web Kinnara atas izin Pandita D. Henry Basuki ]

No comments:

Post a Comment